Welcome to my little world

Rabu, 02 November 2022

Happiness☺

 Aku berbagi bahagia. Aku menyukai diriku.
Read More

Rabu, 05 Oktober 2022

Pak Ray

 Pak Ray termangu. Memandang sepeda motornya yang kini hanya tersisa mesin tanpa ban dengan bola mata terus bergerak tidak fokus. Beberapa detik pikirannya kosong, keringat dingin mengucur deras dari pelipisnya. Ini sudah pukul sembilan malam, kepala sekolah menugasinya lembur menyusun dokumen sore tadi. Pria yang baru menginjak usia tiga puluhan itu menurut saja meskipun tau bahwa tugas itu tidak biasanya dan sekarang....dia tidak bisa pulang.

Ada apa ini?

Kresek.

Pak Ray menoleh ke kanan cepat, semak-semak berisik diterpa angin. Udara malam yang dingin menusuk tulang pria itu bagai sengatan lebah. Tapi sayangnya satu-satunya yang dirasakan Pak Ray hanyalah debaran jantungnya yang memburu.

Beberapa detik berlalu dalam hening, Pak Ray mulai mengumpulkan akal sehatnya dan memutuskan untuk pergi ke warung kopi di depan gang sekolah lalu menunggu sampai pagi. Tapi belum sampai dia beranjak, sebuah tangan menerkam mulut dan hidung pria itu dengan selembar kain beraroma lemon lalu sesaat setelahnya... hanya gelap yang menyambut.

BYUR!

"BANGUN!!"

Suara melengking perempuan serta guyuran air panas memabngunkan Pak Ray. Tubuhnya kini hanya berbalut pakaian dalam terikat di sebuah kursi. Rasa panas membakar tubuhnya, di bawah lampu remang-remang kulitnya memerah seperti kepiting. Tapi belum sempat pria itu memroses apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya, sebuah pukulan benda tumpul menghantam bagian kanan kepala dan membuat telinganya berdengung.

Pak Ray mengerjap, bingung, dan kesakitan. Suara tawa sahut menyahut di sekitarnya, begitu halus dan mengerikan, tawa perempuan.

"Sakit Pak?" Seseorang mendekati Ray, jarinya yang halus dengann kuku bercat merah mengenggam palu. "kalau begini, bagaimana?"

DUAK!!

Palu menghantam bahu Pak Ray, pria itu sentak mengerang kesakitan. Ia bahkan terlalu ketakutan untuk berkata-kata.

"Bapak tau tidak apa yang telah Bapak perbuat pada kamu semua?" Suara manis yang lain berbisik di belakang kepala Pak Ray, seiring dengan benda dingin yang menyentuh punggungnya. Bulu rona Pak Ray menegang, ia berharap tebakannya salah tentang benda apa itu.

Syaaaat!!

Suara daging disobek menggema di ruangan itu. Banyak tawa tumpang tindih ketika Pak Ray hanya mampu mengerang dengan suara tertahan di kerongkongan. Namun belum selesai otaknya mencerna rasa sakit itu, pukulan kembali meluncur tepat ke kepalanya. Palu pun tidak lagi segan menghantam tubuhnyabertubi-tubi hingga remuk. Sementara ia pun tidak lagi mampu menduga sudah berapa banyak kulit punggungnya terkoyak. Suara tawa yang melengking serta kebahagiaan yang terselip di antaranya mengiringi rasa sakit yang tidak lagi mengerang; bahkan mencicit kesakitan pun ia tidak mampu.

Hingga tiba-tiba saja, semua itu berhenti, meninggalkan tubuh yang bersimbah darah itu dalam keheningan yang mencekam. Sampai akhirnya, aroma bensin menguar di udara.

Pak Ray tau apa yang akan terjadi setelah ini.

Namun disela rasa perih yang ia rasakan ketika cairan bensin disemburkan padanya serta tawa yang makin menjadi, Pak Ray tertegun; ia menduga-duga siapa perempuan-perempuan ini? Siapa yang tega berbuat ini?

Lalu, ketika api disulut dan dilemparkan kearahnya; ditengah-tengah kebakaran api yang membakar tubuhnya dan menerangi seluruh ruangan. Pak Ray akhirnya mengenali murid-muridnya sendiri dan terperanjat hinggu kematian menjemputnya.

Sebenarnya, apa yang telah ia perbuat?
Read More

Kamis, 01 September 2022

Kamu dan Hidupku

Asher berlari kesetanan di sepanjang koridor rumah sakit. Keringat membasahi tubuhnya dengan kalut yang menghambur. Jantungnya menghentak jauh lebih cepat dibanding jejak kakinya. Lelaki itu terhenti di satu pintu. Terengah, tangannya menggeser pegangannya asar dan memasuki ruangan itu.
Read More

Jumat, 26 Agustus 2022

Almost Lover

 ...
You'll know I'll always love you
You'll know I'll always care
And no matter how far I may go,
In my thoughts,
You'll always be there
(Beyonce- Hard ti Say Goodbye)
Read More

Minggu, 21 Agustus 2022

café

 Yogyakarta, 21 Agustus 2022

Aku melihatmu.
Read More

Kamis, 18 Agustus 2022

Matahari

 Yogyakarta, 18 Agustus 2022

Bingung merangkai kata karena panas matahari ini hanya bisa membuatku menulis tentang panasnya yang menyengat kulitku. Wah, cerah ya hari ini? Tidak seperti hari-hari kemarin yang hujan, yg seakan-akan kamu duduk bercermin dan melihat keluar jendela, orang-orang yang kamu sayangi datang satu persatu ke benakmu. Datang dengan senyuman ataupun datang untuk mengingatkanmu tentang masalah yang pernah menghampirimu. Apapun bentuknya kamu merindukan itu semua.
Read More

Rabu, 10 Agustus 2022

Drama!

 Yogyakarta, 10 Agustus 2022

Ah... Korean Drama is Bullshit!
Read More

Selasa, 26 April 2022

BUKU HARIAN KUNING


Heyu, wasap bruuhh. akhirnya setelah ribuan purnama dan banyak gerhana dibuatin juga buku harian ini. Padahal janjinya udah dari jaman Kak Mika, Kak Miko hidup sampai sekarang tinggal kenangan aja. Emang janji tu gak enak ya. Manis diucapan aja nyatanya sepait vaksin, lebih pahit mungkin. Untung aku sabar, coba kalau tidak. Udah aku tinggalkan dari dulu.
Read More

Jumat, 25 Maret 2022

Bagaimana Jika Aku Gagal Lagi?

 Yogyakarta, 25 Maret 2022

Aku sudah tidak punya lagi sisa kata-kata bijak untuk diriku sendiri saat pertanyaan itu terlintas di benakku, hari ini. Bagaimana jika aku harus melalui perasaan seperti ini untuk kedua kalinya dan untuk hal yang sama? Apa hatiku bisa bertahan dengan gempuran perasaan menyedihkan itu lagi? Seperti keledai dungu yag jatuh pada lubang yang sama dua kali.
Read More

Jumat, 04 Februari 2022

Paper Stars

Louve mengerjapkan matanya dua kali. Jarinya meraup rambut ikal yang menjuntai ke belakang. Mengerlingkan pada detik yang melangkah seenaknya. Jam sepuluh malam. Ia menghela napas pelan. Sejak kapan ia tertidur di sana?
 
Ia menatap lembaran kertas warna-warni di meja kerjanya. Beberapa sudah digunting melintang, sementara yang lainnya masih dalam bentuk persegi bertumpuk satu sama lain. Toples kaca di samping seakan berdiri apik dengan butiran kertas yang dibentuk binrang. Tangannya meraih guntinng dan memotong kertas menjadi dua strip tipis. Ia mengambil nafas dalam dan memejamkan mata. Membenamkan diri dalam fragmen tiga tahun yang lalu.
 
Jari-jarinya tidak perlu penglihatan untuk melipat potongan itu.
 
~o~
 
Malam belum nampak ujungnya, namun kenop pintu apartemen sudah ditarik dari luar. Louve menapaki teras apartemen, meninggalkan sepatu dengan heelsnya. Ia menarik napas lega, lalu mengernyitkan dahi. Aroma yang masuk dalam penciumannya sangat tidak biasa. Apalagi jika itu berasal dari apartemennya.
 
Sejak kapan rumahnya jadi berbau manis seperti ini? Seingatnya, ia belum mengisi ulag parfum ruangan. Atau dari tubuhnya? Tapi masa iya? Ia mendekatkan hidung ke ketiaknya — mungkin berharap tubuhnya mengeluarkan wewangian cake agar ia dapat mengekstrak bulu ketiaknya dan dijual— daaan... euhhh jelas bukan dari tubuhnya!

"Ed....?" panggilnya keras-keras. Perlahan kakinya menjajaki ruangan. Louve diam-diam merutuki dalam hati. Mana mungkin Edward ada di dalam. Pria itu masih berada di Praha untuk mengurus ekspansi bisnisnya atau apalah itu. Otak Louve tidak pernah sampai jika lelaki itu mulai bercerita bisnis. Jadi tidak mungkin kan Edward menjadi amuba, membelah diri, lantas menggelinding menuju apartemennya? Pffft.

Baunya semakin kuat tercium dan Louve semakin sibuk mengira-ngira siapa yang memasak. Ed? Mom? Alice? Pencuri? Louve meragukan pilihan terakhir. Memangnya ada pencuri yang masuk dalam apartemen, dan repot-repot memasak? Karena lapar? Atau sebagai permintaan maaf sudah mencuri LED TV?

"Mom?"..
"Ed?"..
"Halooo...? Ed? Mom?"

Louve sampai di ruang makan, dan tercengang. Meja makannya penuh dengan peralatan makan yang tertata rapi. Beberapa makanan sudah tersaji, termasuk pasta panggang kesukaannya. "Ed...?"

Pria yang dipanggilnya sejak tadi itu, membawa cake cokelat dengan topping figur dirinya dalam bentuk clay di dua tangannya. Ia berdiri di depan meja makan, bersebrangan dengan Louve di ujung ruangan. Matanya mengerjap dua kali, "Loh. Louve? Kok sudah pulang?"

Dahi Louve mengernyit. Bukankah pertanyaan itu seharusnya ia tanyakan pada Edward? "Ada meeting di luar, jadi aku langsung pulang dan kamu, kenapa kamu di sini? Praha-nya gimana? Terus ini ada apa?"

Edward, masih membawa cake di tangannya, meringis. Jika tangan kanannya sedang bebas, ia pasti akan menggaruk tengkuknya canggung, —seperti anak kecil yang ketahuan mencuri permen—. Ia kemudian tersenyum. Sejenis senyuman yang dibenci Louve senyuman dengan satu sudut bibir ditarik ke atas  dengan aksen sediki angkuh, "Hmm... sebenarya aku ingin membuat kejutan untukmu. Tapi kamu sudah pulang sebelum persiapannya selesai, Louve."

Huh? Lalu itu salahku Ed?
 
Edward meletakkan kuenya di ujung meja, merogoh ceruk celemek —oh iya, baru kali ini Louve melihat Edward menggunakan celemek!—dan memasang dua pasang lilin berangka, "Happy birthday, Louve!"
 
"Astaga.... Aku lupa!"
 
"Yap, aku tau Louve. Aku tau...." cengiran angkuhnya melebar. Louve rasanya bingung, antara seang karena kejutan Edward, atau sebal dengan garis lengkung asimetris bibinya. "Come on, Louve..... Tiup lilinnya dan kita bisa makan. Aku lapar."
 
Louve membelalakkan mata dan mendengus
Edward!
 
"Ah iya! Ini hadiah untukmu." ujar Edward setelah Louve meniup lilin.
 
Louve benar-benar tidak mengerti Edward hari ini. Edward habis terbentur Charlis Bridge? Atau di Praha, ia sudah di cuci otak? Sejak kapaaaan seorang Edward punya waktu membuat cake? dengan hiasan-hiasan seperti itu pula! Eh, memangnya ini, Edward sendiri yang buat? Dan sejak kapan, Edward memberi kado? Ah, It's Edward. Manusia paling sibuk dan business-oriented! Biasanya juga Louve yang menyiapka pesta kecil seperti ini.
 
"Apa ini Ed?" tanya Louve, sembari memainkan kadi Edward. Okay, sepertinya Edward tidak sepenuhnya dicuci otak. Ini khas Edward. Ia bahkan tidak repot-repot membungkus kadonya. Toples kecil dengan tutup dari busa — seperti tutup wine—  berisi kertas origami berbentuk bintang kecil-kecil, dan warna-warni. Di lehernya diikatkan tali warna hitam dengan kartu kecil yang digantungkan. Louve tidak tau maksud pita hitam di sini. Apa Edward sedang berkabung untuk hari ulang tahunnya? 
 
Happy birthday Louve!
All my wishes for you and us in here
-Edward-
 
"Hmmm... itu bintang kertas. Jadi aku membuatnya khusus untukmu. Kalau kamu membukanya, di sana aku sudah menulis harapan-harapanku ke kamu. It's so many wishes" jelas Edward. Sementara Louve masih terkejut dengan fakta Edward membuat barang kecil-kecil itu sendiri. "Kamu tau kan, cerita kalau kita menulis harapan di kertas dan melipatnya menjadi bintang, maka harapan itu akan terkabul? Kamu tau kan? Kamu tidak tau, ya? Emhh... aku mendengarnya dari Shang. Ingat kan, teman kuliahku yang dari Beijing? Jadi, aku pikir, di sela kesibukanku, aku ingin membuatnya juga— "

"Well, okay.... Stop, Ed." Louve tergelak kecil mendengar Edward mengoceh. Ini pun juga khas dari seorang Edward, ketika ia merasa malu untuk menjelaskan. Edward bukan tukang bicara, tapi ia akan berbicara banyak kalau mulai merasa canggung.... dan malu, "Jadi, kamu sendiri yang menulis dan memasukkan keinginan-keinginanmu di sini?"
 
Edward mengangguk. Menggaruk tengkuknya canggung. Pipi dan telinganya memerah.

Louve membuka toplesnya dan mengambil satu bintang. Ia membuka lipatannya "I wish I'll be able to spend so many more birthdays with you," baca Louve keras, dan rasanya Edward ingin menghilang dari muka bumi, atau bersatu dengan udara, atau mencair ke dalam tanah, atau apapun saking malunya. Sungguh, Louve ingin tertawa terbahak atau menunjuk-nunjuk pipi merah pada Edward, atau apalah untuk sekedar menikmati momentum itu.

Namun tidak. Louve hanya berdeham —separuh ingin menahan gelaknya— dan berkata "Bagaimana cara membuatnya? Ajarkan aku....."

Raut Edward berubah cerah. Setidaknya bahasannya beralih. Sedikit. "Okay, Louve!"

Tangan Louve bergetar saat ia menulis secarik kertas tipis. I wish I could forget you. Melipatnya hingga menjadi simpul datar, membentuk pentagon hingga lipatan terujung, lantas menekan tiap sisinya. Bintang kertas kecil terbentuk sempurna.

Ia menggenggam bintang sempurna itu lemah, seakan takut jemari merusaknya. "I wish I could forget you," bisiknya, meyakinkan doanya dengan nada bergetar dan bintang itu terjatuh, berkumpul dengan harapan-harapan lain toples.

Louve membuat bintang yang lain, dengan harapan yang sama. Menjatuhkannya di antara bintang lain. Bahkan hingga bintangnya yang kesekian, ia masih tidak mampu menatap bintang kertas dalam toples itu. Karena harapan yang terlimpah di sana adalah ketika cinta masih membumbung tinggi. Ia terlalu takut. Terlalu menyakitkan.

Harapan di antara bintang-bintangnya selalu serupa, untuk melupakan. Yang ia tidak sadar adalah, cina selalu punya caranya sediri untuk membuatnya ingat. Seperti bagaimana burung yang tidak pernah lupa dengan rumahnya.

Louve menutup mata sekali lagi, membiarkan kenangan keluar dari pandora dalam otaknya.

~o~

"Kamu lupa, Ed?!" nada Louve meninggi. "Ini ulang tahun pernikahan kita, Ed!"

Louve tidak mengerti harus berkata apalagi pada suaminya. Ia sudah mencoba untuk mengerti business-oriented dalam otak Edward. Lupa dengan janji-janjinya, ia selalu memaafkan. Lupa dengan hari ulang tahunnya, ia maklumi. Lupa dengan hari pernikahan mereka? Ia tidak habis akal.

Itu adalah hari yang paling ia nanti, dan itu bukanlah apa yang menurut Edward penting untuk ditulis dalam agendanya.

Louve sudah menyiapkan segalanya dari pagi. Bahkan belajar memasak Sup Kanada dengan Mama Edward sejak jauh hari. Hari itu ia mengambil cuti kerja, untuk mengerjakan semuanya. Dan Edward... tidak pulang dan baru sampai rumah nyaris subuh. Ia sudah menghubungi, namun tidak ada yang dijawab.

Entahlah. Louve tidak bisa berkomentar.

"Maaf, Louve. Tugas kantor sedang banyak sekali... dan aku tertidur di kantor. Sorry, Louve..." ucap Edward, separuh memohon.

Louve tidak tau. Mungkin tidak mau tau. Entahlah.

Ia menghempaskan tubuhnya di pinggir ranjang. Dua tangan berpangku pada lutut, menelungkup wajahnya. Terdiam sejenak, lantas menatap Edward, menyerah "You know, Ed? I'm tired?"

"Louve?"

"Memangnya apa yang aku inginkan, terlalu muluk?" tanya Louve. "Aku hanya minta satu, untuk kamu mengingat hari ini, Ed. Apa terlalu berlebihan?"

Edward tidak menjawab. Dan Louve tidak mau repot melongok, bagaimana Edward menatapnya, "You can go, Ed. Pergi dan urus semua urusan bisnismu. Aku tidak peduli."

"Louve, please... I'll make up."

"Aku capek, Ed..." ujar Louve memotong ucapan Edward. Kali ini, mata mereka bertemu. Segalanya, termasuk wajah, suara, ekspresi, tingkah Edward membuatnya naik pitam. Sejujurnya cinta selalu memberi maaf. Tapi kadang, emosi menggelapkan jalannya. "Kamu tau pintu keluar, Ed. I'm not.... happy with you."

Tentu saja itu tidak benar, dan ia tau, perkataan itu menyakitkan bagi Edward. Tapi untuk beberapa saat, ia ingin melakukannya.

Edward mematung. Beberapa saat kemudian, Edward membuka lemari pakaian. Mengeluarkan koper dan memasukkan pakaian sembarangan. Louve masih tidak bereaksi. Edward menghela napas dan berbalik meninggalkan kamar. "Aku pergi, Louve."

Louve mendengar suara langkah kaki Edward, gesekan roda koper dan pintu apartemen mereka yang ditutup keras.
o
o
~o~
o
o

 
Terluka tidak selalu berdarah.

Karena Louve tau, ada pisau yang menancap di dadanya. "Maaf, Ed..." Tubuh Louve terjatuh. Memeluk dua tugkainya, ia menanamkan wajah diantaranya. Air mata yang sejak tadi dibendungnya tinggi-tinggi, terjatuh. "Maaf, Ed. Jangan pergi... Maaf..."

Ia tidak tau, mengapa segalanya berubah menjadi seburuk ini.

~o~

Louve menulis dilembaran kertas tipis yang belum dilipat. I wish I could just forget you. Jemarinya lantas menyimpul dan melipatnya. Air matanya dengan lembut meluncur di pipinya.

Ia menatap bentukan bintang di tangannya. Alih-alih menjatuhkannya ke dalam toples, ia malah meremas bintang itu hingga remuk. Lantas menggeludungkan di atas meja. Louve menatap kertas kusut itu dan toples di sampingnya. Ia tidak mengerti, mengapa tangannya tidak mendengarkan otaknya?

Pada lembaran kertas panjang, tangannya tertuju. Louve mencoba menulis kalimat yang sama, untuk berakhir menjadi gumpalan yang sama. Begitu juga dengan beberapa kertas selanjutnya. Untuk beberapa saat, ia termangu. Lalu mengambil kertas lainnya dan meraih pena. Ia memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam.

I wish...

Gerakan tangannya terhenti sejenak. Memberi waktu pada dirinya sendiri, untuk memungut kekuatan. Untuk jujur pada hati. Untuk menepis ego. Separuh bergetar, Ia kembali menulis.

you'd come back

Menatap bintang kertas yang baru saja dilipatnya, Louve menyadari, betapa bodohnya apa yang ia inginkan. Ia menggigit bibir bawahnya, keras-keras. Mengepalkan tangan hingga bintangnya mengernyut, hendak melemparnya ke tong sampah.

Bel apartemennya berbunyi. Jam dua belas malam.

Louve terperanjat. Terengah. Tangannya mengudara, terhenti. Bintang kertasnya jatuh, tepat di antara ratusan bintang dalam toples. Ia langsung melihat dalam toples. Bumi seakan berhenti berputar, ia kehabisan udara untuk bernafas. Yang ia lihat hanyalah satu bintang kertas renyuk berwarna putih di antara puluhan warna lain.

Ketukan di pintu apartemen terdengar.

Louve menyeret kakinya di depan pintu. Detak jantungnya berpacu sementara tangannya menggenggam kenop. Seolah ia tau apa yang tersembunyi di balik ketukan.

Ketukannya terdengar lagi. Satu tarikan nafas panjang dari seorang Louve, dan ia membuka pintu perlahan. Matanya tertumbuk pada pria yang berdiri di depannya.

Ia berada di sana. Rambutnya berantakan. Matanya menyiratkan penyesalan. Keduanya terdiam, pada senyap yang tidak berani mereka pecahkan.

Meraih kedua tangan Louve, Edward memberikan bintang-bintang kertas di telapak tangan Louve. Pandangan Louve mengekor pada apa yang ia genggam. Ia membuka lipatan bintangnya, masih dalam kebisuan. Dengan Edward yang masih berdiri di depannya.

I wish you could forgive me

I wish I could fix my faults

I wish I could hold you again and never let you go

Louve menggigit bibir bawahnya, menahan ceguk di tenggorokanya. Sementara Edward meneguk ludahnya dan berkata lirih "Happy birthday, Louve"

Dua sudut bibir Louve mengembang. Alih-alih membalas ucapan Edward, ia menarik pintu lebar-lebar.

"Welcome home Edward!!"

~o~
Read More

Kamis, 13 Januari 2022

Flower Crown

"Sudah?"

"Belum." 

"Sudah?"

"Belum."

"Sudah?!"

"Belum, Lei."

Bocah kecil yang dipanggil Lei itu mendengus keras-keras. Ia menghempaskan tubuhnya di rerumputan dengan jengkel. Bibirnya mengerucut tanda kekesalannya. "Kainan.... Sudah?"

Tidak ada jawaban. Maka semakin dongkol hati Leigh.

Leigh mengamati langit yang mulai menggiring awan ke atasnya. Setidaknya rindang membuat suasana hatinya tidak begitu jelek. Semetara bocah empat tahun itu membayangkan bentuk awan, laki-laki yang seumuran dengannya di sampingnya sibuk merangkai bunga-bunga mawar yang baru berkembang. Rengekan Leigh tentu saja tidak membantunya sama sekali. Beberapa saat kemudian senyuman dua sudut bibirnya mengembang. "Sudah!"

Leigh seketika melonjak girang. Ia bangun secepat kilat dari rebahnya. "Ha? Sudah?!"

Kainan menatapnya dengan mata berbina. Ia mengangguk cepat dan menunjukkan hasil karyanya. Mahkota dari bunga mawar dan putih yang dililitnya satu persatu membentuk lingkaran. Hati Leigh jelas membuncah. Ia bersorak kegirangan, bertepuk tangan antusias.

Tangan Kainan merapikan rambut ikal Leigh, surai-surai coklatnya yang jatuh di wajah disibakkan lembut. Dengan hati-hati Kainan memasangkan mahkota buatannya di kepala Leigh.

"Cantik." Ujar Kainan. Leigh tersipu malu.

Kainan meraih jemari Leigh, memasangkan cincin dari lilitan mawar yang sama di jemari manis Leigh. Kelopaknya terlihat begitu besar di jari mungil gadis itu. Leigh terpana melihat cincin di jemarinya. Berulang kali ia membolak-balik tangannya.

"Leigh, dua puluh tahun lagi, menikah denganku ya." seru Kainan. Anak yang bahkan baru bisa bicara kemarin sore itu menunjuk cincin Leigh. "Kan aku sudah memberimu cincin duluan."

Leigh tertawa kecil. Dua pipinya bersemu dengan dada yang berdebar. "Iya." jawabnya.

Tawa mereka pecah, dengan dua pasang tangan mungil yang saling menggenggam.

"Nona Leigh, ayo masuk. Sudah sore!" seru seseorang dari kejauhan.

Mae, pelayan muda keluarga Scott berlari dari dalam rumah mendekati tempat nona mudanya bermain sepanjang siang. "Nona Leigh, ayo masuk. Sudah sore!"

Leigh mengalihkan pandangan kepadanya, dan menganggukkan kepala. Ia kembali menatap padang kosong di sampingnya, seolah ada sesuatu yang menarik perhatiannya di sana. Lantas, ia memeluk dirinya sendiri dan tersenyum lebar. "Kainan, besok kita bermain lagi, ya."

Mae mengernyitkan dahi, terkejut sekaligus bingung bukan main.

"Nona bicara dengan sia-"

"Ayo, Mae," ajak Leigh, memotog pertanyaan Mae. Leigh beranjak dari duduknya dan menggenggam tangan pelayannya, "Mama Papa sudah datang?"

"Belum, nona. Mereka akan datang dua hari lagi." jawab Mae. Tangannya menyentuh bunga mawar di kepala Leigh, "cantik sekali."

Leigh mendesah. Makan malamnya akan sendiri lagi.

~


Footnote: Jadi, siapa yang membuatkan mahkota di kepala Leigh?

Read More

Welcome to my little world

Diberdayakan oleh Blogger.

Temukan Aku di...

Followers

© Bienvenue, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena