Seorang
wanita muda berdiri seorang diri di depan sebuah bangunan sekolah. Angin
menyibak rambutnya yang ikal dan panjang itu. Cahaya matahari menyentuh
kulitnya. Matanya berkaca-kaca seakan ia tak yakin apa yang dilakukannya hari
ini. Lalu akhirnya ia memantapkan niatnya, satu persatu ia langkahkan kakinya
masuk kearea sekolah itu. Suara denyit sepatu kets yang ia pakai seakan-akan
memecahkan keheningan ditempat itu. Ya tempat itu sepi, terlalu sepi malah.
Karena ini memang sudah bukan jam sekolah, yang ada ditempat itu hanyalah
wanita itu. Ia terus melangkahkan kakinya dengan amat perlahan, menggigit bibir
bawahnya berusaha menahan air matanya.
Lalu
ia berhenti disebuah koridor. Ia hanya berdiri disana berusaha mengingat
sesuatu. Dalam pikirannya terdapat banyak suara, lalu tempat itu menjadi ramai.
Air matanya kini tak dapat ditahan lagi. Satu persatu kenangan yang sudah lama
ia simpan kini mulai kembali lagi, kenangan yang sangat ingin ia lupakan kini
berputar diotaknya, seakan-akan ia kembali kemasa beberapa tahun yang lalu.
Dimana ia berdiri dilorong dan berusaha melepaskan diri dari tarikan tangan
sahabat perempuannya yang memaksanya untuk berkenalan dengan seorang lelaki.
*
“Ayolah
Fy! Enggak apa-apa. Cuma kenalan aja kan enggak bisa bikin kamu mati.” Paksa
seorang gadis berumur 13 tahun. Tangannya menggenggam erat tangan kanan Ify dan
berusaha menariknya ke segrombolan anak laki-laki yang berada di depan ruang
kela 7D.
“Enggak
mau ah Via! Akukan enggak kenal dia, aku malu.” Tolak Ify dengan tampang
memelas dan dengan sekuat tenaga berusaha melepaskan diri dari genggaman
temannya.
“Aduh,
makanya kalau enggak kenal, kenalan dong!”
“Enggak.
Enggak. Enggak. Pokoknya aku enggak mau.” Kali ini dia mulai kesal dan memasang
muka cemberut kepada temannya.
“Huh,
dasar kamu Fy. Kalau begini caranya gimana kamu mau dapat pacar? Aku kenalkan
ke salah satu cowok cakep di sekolah aja kamu enggak mau.” Akhirnya Sivia
melepaskan genggaman tangannya dan melipat tangannya di dada.
“Habis
aku kan enggak seperti kamu yang mudah banget berkenalan dengan cowok.” Balas
Ify mencibir. Tangan kirinya mengusap-usap pergelangan tangan kanannya yang
sakit karena tarikan tangan Sivia.
“Yasudah
kalau gitu, tapi paling enggak kamu mau melihat wajahnya terlibih dahulu ya.
Terus nanti kalau kamu berubah pikiran, kamu bilang sama aku. Nanti aku kenalin
deh.” Sivia tersenyum dengan penuh arti. Kedua alisnya naik turun menggoda Ify.
“Baiklah,
aku setuju. Memang orangnya itu mana sih? Paling juga biasa-biasa saja.”
“Yang
ini beda.” Dari tempat itu Sivia mengarahkan jari telunjuknya kearah salah atu
cowok. “Yang paling tinggi yang ganteng itu. Gimana? Cakep kan?”
Mata
Ify mengikuti arah telunjuk Sivia. Arah itu tertuju pada sosok seorang cowok tinggi,
tampan dan cowok itu tersenyum. Walau senyum itu bukan untuknya, tapi ia merasa
darahnya mengalir deras, jantungnya berdetak sangat cepat. Ify hanya diam
ditempat itu sambil menatap sang cowok seakan-akan ia tak mau melepaskan
pandangannya. Ia merasa itu adalah senyuman termanis yang pernah ia lihat dan
ia juga sadar kalau ia tak akan bisa melupakannya saat itu dan juga senyuman
itu.
*****
Wanita
itu menarik nafasnya lalu dihembuskan pelan-pelan. Ia menyeka air matanya lalu
kembali melanjutkan langkahnya dengan perlahan. Ia berhenti tepat didepan
sebuah papan pengumuman. Lalu ingatannya kembali lagi, suasana itu muncul lagi.
Ia merasa berdiri ditengah kerumunan anak-anak sekolah yang berdesak-desakan.
Mencoba untuk mencari tempat terdepan.
*****
“Woi,
minggir-minggir!” Teriak Ify. Namun tak ada satupun orang yang mau minggir.
Karena
kesal, ia mendorong anak-anak lain di depannya agar ia dapat melihat pengumuman
yang barusaja dipasang di papan itu. Tangan kanannya menarik Sivia dan tangan
kirinya menarik Shilla. Dengan susah payah akhirnya mereka bertiga berhasil
juga berada di depan. Mereka langsung mencari nama mereka masing-masing
diantara 6 lembar kertas yang tertempel di depan mereka.
“Gimana
Shill? Udah ketemu belum?” Tanya Ify sekeras-kerasnya agar Shilla dapat
mendengarnya. Suasana ditempat itu memang sangat ramai.
“Udah
kok, aku masuk kelas 8-E. Sivia juga ketemu, dia masuk kelas 8-F. Kamu sendiri
gimana? Nama kamu enggak ada dikelasku sama dikelas Sivia loh.”
“Yah
berarti kita enggak sekelas dong” Mata Ify kini tertuju pada kelas 8-A matanya
terus mencari dengan teliti baris per baris nama dari bawah ke atas. Lalu ia
menemukan namanya di baris ke 9.
Hatinya
sudah lega karena sekolah tidak lupa mencantumkan namanya seperti pikirnya
tadi. Ia melihat siapa saja teman-temannya di kelas 8 nanti. Lalu matanya
tertuju pada baris ke 24 Mario Stevano Aditya Haling itu berarti ia sekelas
dengan cowok itu dan ia bisa mengobrol dengan rio. Cowok yang berhasil
mengambil hatinya hanya dengan sebuah senyuman. Cowok yang membuatnya jatuh
cinta dalam pandangan pertama. Cowok yang setahun ini ada didalam pikirannya.
Lalu lamunannya terpecah karena tarikan tangan Sivia yang mencoba menarik Ify
dari kerumunan itu.
“Gimana
udah ketemukan?” Tanya Sivia penasaran. Ify hanya menganggukkan kepalanya.
“Yah
berarti nanti kita enggak sekelas dong.” Keluh Sivia sedih.
“Enggak
apa-apa kita kan masih bisa main bareng waktu istirahat.” Tukas Shilla. “Kamu
sekelas sama siapa aja Fy?” lanjutnya
“Banyak.
Dari kelas kita ada Angel, Agni, dan Acha. Kalau dari kelas lain ada Zahra,
Cakka, Alvin, Rio. Pokoknya banyak deh.” Papar Ify.
“Apa?
Cakka dan Rio?” pekik Shilla tiba-tiba. “Ya ampun. Kok yang nakal-nakal masuk
ke kelas kamu semua? Kacau tuh kelas. Kasian banget wali nya ntar.” Lanjut
Shilla
“Ih
emangnya kenapa? Yang penting kan mereka cakep-cakep. Iya kan Fy?” tukas Sivia
genit.
Lalu
ia mengajak kedua sahabatnya itu pergi meninggalkan tempat itu menuju kantin.
Hari itu mereka merasa sangat senang.
*****
Wanita
itu melanjutkan langkahnya lagi. Kali ini ia berjalan melewati sebuah koridor
yang dinding-dindingnya berwarna putih susu. Langkah kakinya bergema di koridor
itu. Ia sampai di ujung lorong lalu ia membelokkan langkahnya ke kanan dan ia memasuki
ruang kelas 8-A. Ia berjalan diantara kursi-kursi dan meja-meja yang tertata
rapi, hingga sampai di deretan kursi pojok. Ia duduk di salah satu kursi yang
ada di situ. Lalu pandangannya kosong.
*****
“Hei
Fy, kamu kalo jalan-jalan itu sama siapa sih?” Tanya Rio iseng. Ia daritadi
tidak memperhatikan guru yang sedang mengajar dikelas itu.
“Ya
nggak sama siapa-siapa, palingan juga sama temen-temenku.” Jawab Ify sembari
menulis.
“Kamu
mau nemenin Yo?” Timpal Agni yang duduk
disebelah Ify.
“Iya.
Mau. Hehehe” Rio tertawa. “Gimana Fy? Mau pergi sama aku?” lanjut Rio sambil menggoda.
“Nggak
ah. Aku nggak mau jalan-jalan keluar sama cowok yang bukan pacarku.” Jawab Ify.
“Yaudah.
Kalau gitu kamu jadi pacarku aja gimana?” kata Rio sambil senyum. Lagi-lagi
senyuman itu, senyuman yang bisa membuat hati Ify luluh.
Ify
kelabakan menanggapi Rio. Ia bingung. Sebenarnya Rio serius atau hanya ingin
menggoda Ify. Rio dikenal sebagai playboy di sekolah, lagipula pikirnya tidak
mungkin seorang Rio yang sebegitu cakepnya jatuh hati kepada seorang Ify yang
biasa-biasa saja. Tiba-tiba Agni berteriak. Teriakannya itu mampu membuat
seluruh kelas menoleh kepada mereka.
“Cieee….
Ify ditembak Rio lho!” serempak satu kelas menyoraki mereka. Muka Ify memerah.
Bagaimana ini, ia ingung tapi sekaligus senang.
***
Wanita
itu bangkit dari duduknya. Berjalan keluar kelas melewati aula yang terletak di
lantai bawah bangunan masjid. Lalu ia berdiri di depan pintu sebuah ruang
kelas. Ia menyibakkan rambutnya yang tertiup angin. Ia memejamkan matanya.
***
“Emangnya
nggak apa-apa kita nggak ikut pengarahan?” Tanya Ify ragu kepada Rio yang duduk
disebelahnya.
“Udah
nggak apa-apa kok. Habisnya aku males sih.” Tukas Rio.
Saat
itu suasana sekolah memang sepi, yang ada hanyalah beberapa anak kelas 1 dan 2.
Sedangkan anak kelas 3 seperti mereka mengikuti pengarahan dari guru di lantai atas.
Ify tersenyum lebar dan tiba-tiba ia berdiri lalu berjalan menuju keluar kelas
tapi Rio menarik tangannya. Karena tarikan tangan Rio, badan Ify sedikit
terhempas. Kini badan mereka berdua berhadapan. Mereka tertawa kecil lalu diam.
Suasana menjadi hening. Kepala mereka berdua semakin mendekat. Ify merasakan
sesuatu yang lembut menyentuh bibirnya. Mereka berciuman. Jantung Ify berdetak
kencang. Mukanya memerah. Ini adalah ciuman pertamanya. Ciuman pertama yang
manis.
***
Dilanjutkan
langkahnya menuju sebuah ruang kelas. Ia tak dapat membendung air matanya. Kelas
itu dulu adalah kelasnya, kelas ditahun terakhirnya berada di sekolah itu. Kelas
yang menyimpan banyak kenangan. Ia berjalan menuju kursi belakangyang tepat
terletak di sebelah jendela. Itu adalah temoat Rio ketika ia duduk di kelas III
SMP. Tempat favoritnya, karena dari sana ia bisa melihat langit yang biru.
***
“Heh
Rio! Bengong aja. Ngeliatin apasih? Dari tadi aku liatin kayaknya sama sekali
nggak merhatiin pelajaran.” Ify menggeser kursinya mendekati Riotepat setelah
bel istirahat berbunyi.
“Langit.”
Jawab Rio singkat sambil tersenyum. Senyuman favorit Ify.
“Hmm,
aku cemburu. Langit lebih menarik daripada aku?” Ify nyengir menggoda Rio. Rio meletakkan
tangannya kekepala Ify dan mengelus-elusnya. Rio tertawa.
“Aku
suka langit. Aku pengen jadi langit. Jadi aku selalu tau dimana Ify berada. Apa
yang dilakukan Ify.”
“Seperti
stalker?” balas Ify mengangkat sebelah alisnya.
Rio
tersenyum lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Ify, memasang wajah serius yang
dibuat-buat. “Biar aku bisa selalu melindungi Ify yang cerobohnya kebangetan.” Rio nyengir jahil dan menyubit hidung Ify,
lalu bangkut dari duduknya.
“Rio”
Ify menarik tangan Rio. Wajah Ify memerah karena malu.
“Tetaplah
bersamaku. Selamanya.” Rio tersenyum.
“Pasti.”
***
“Masih
disini.” Wanita itu berbicara lirih, mengusapkan jemarinya ke tulisan yang
terukir di meja. RIO+IFY. Lalu airmatanya menetes kembali.
“Apakah
kau bahagia?” Ucapnya sambil menatap langit biru.
Tempat
ini menyimpan banyak kenangan milik mereka berdua. Wajah Rio, suara Rio,
kehangatan Rio, dan semua tentang Rio yang tak dapat ia lihat dan rasakan lagi.
Rio tidak main-main ketika ia bilang ingin melindungi Ify. Hampr tiga tahun
yang lalu Rio meninggal dalam kecelakaan motor tepat dua hari setelah
percakapan saat istirahat itu. Dia melindungi Ify dengan melemparkan dirinya
kearah mobil supaya bukan Ify yang tertabrak. Kalau saja Rio tetap memegangi
stang motor mungkin saja yang tertabrak adalah Ify.
“Aku
akan melangkah walaupun perlahan dengan nyawa yang telah dilindungi olehmu.” Ucapnya
lirih.
“Aku
nggak pernah bisa melupakan waktu kita bersama. Tapi aku nggak akan pernah
menyesal mencintaimu sampai sedalam ini.” Ify menyeka air matanya dan mencoba
tersenyum sambil tetap memandang langit.
“Maaf
aku nggak bisa nepatin janjiku untuk nggak menangis. Kenangan bersama Rio akan
kujaga seumur hidupku. Aku bahagia pernah bertemu Rio. Aku bahagia pernah
mencintaimu. Dan aku bahagia pernah dicintai olehmu. Rio, mulai sekarang
teruslah menjagaku.”
End
0 komentar:
Posting Komentar