Welcome to my little world

Jumat, 04 Februari 2022

Paper Stars

Louve mengerjapkan matanya dua kali. Jarinya meraup rambut ikal yang menjuntai ke belakang. Mengerlingkan pada detik yang melangkah seenaknya. Jam sepuluh malam. Ia menghela napas pelan. Sejak kapan ia tertidur di sana?
 
Ia menatap lembaran kertas warna-warni di meja kerjanya. Beberapa sudah digunting melintang, sementara yang lainnya masih dalam bentuk persegi bertumpuk satu sama lain. Toples kaca di samping seakan berdiri apik dengan butiran kertas yang dibentuk binrang. Tangannya meraih guntinng dan memotong kertas menjadi dua strip tipis. Ia mengambil nafas dalam dan memejamkan mata. Membenamkan diri dalam fragmen tiga tahun yang lalu.
 
Jari-jarinya tidak perlu penglihatan untuk melipat potongan itu.
 
~o~
 
Malam belum nampak ujungnya, namun kenop pintu apartemen sudah ditarik dari luar. Louve menapaki teras apartemen, meninggalkan sepatu dengan heelsnya. Ia menarik napas lega, lalu mengernyitkan dahi. Aroma yang masuk dalam penciumannya sangat tidak biasa. Apalagi jika itu berasal dari apartemennya.
 
Sejak kapan rumahnya jadi berbau manis seperti ini? Seingatnya, ia belum mengisi ulag parfum ruangan. Atau dari tubuhnya? Tapi masa iya? Ia mendekatkan hidung ke ketiaknya — mungkin berharap tubuhnya mengeluarkan wewangian cake agar ia dapat mengekstrak bulu ketiaknya dan dijual— daaan... euhhh jelas bukan dari tubuhnya!

"Ed....?" panggilnya keras-keras. Perlahan kakinya menjajaki ruangan. Louve diam-diam merutuki dalam hati. Mana mungkin Edward ada di dalam. Pria itu masih berada di Praha untuk mengurus ekspansi bisnisnya atau apalah itu. Otak Louve tidak pernah sampai jika lelaki itu mulai bercerita bisnis. Jadi tidak mungkin kan Edward menjadi amuba, membelah diri, lantas menggelinding menuju apartemennya? Pffft.

Baunya semakin kuat tercium dan Louve semakin sibuk mengira-ngira siapa yang memasak. Ed? Mom? Alice? Pencuri? Louve meragukan pilihan terakhir. Memangnya ada pencuri yang masuk dalam apartemen, dan repot-repot memasak? Karena lapar? Atau sebagai permintaan maaf sudah mencuri LED TV?

"Mom?"..
"Ed?"..
"Halooo...? Ed? Mom?"

Louve sampai di ruang makan, dan tercengang. Meja makannya penuh dengan peralatan makan yang tertata rapi. Beberapa makanan sudah tersaji, termasuk pasta panggang kesukaannya. "Ed...?"

Pria yang dipanggilnya sejak tadi itu, membawa cake cokelat dengan topping figur dirinya dalam bentuk clay di dua tangannya. Ia berdiri di depan meja makan, bersebrangan dengan Louve di ujung ruangan. Matanya mengerjap dua kali, "Loh. Louve? Kok sudah pulang?"

Dahi Louve mengernyit. Bukankah pertanyaan itu seharusnya ia tanyakan pada Edward? "Ada meeting di luar, jadi aku langsung pulang dan kamu, kenapa kamu di sini? Praha-nya gimana? Terus ini ada apa?"

Edward, masih membawa cake di tangannya, meringis. Jika tangan kanannya sedang bebas, ia pasti akan menggaruk tengkuknya canggung, —seperti anak kecil yang ketahuan mencuri permen—. Ia kemudian tersenyum. Sejenis senyuman yang dibenci Louve senyuman dengan satu sudut bibir ditarik ke atas  dengan aksen sediki angkuh, "Hmm... sebenarya aku ingin membuat kejutan untukmu. Tapi kamu sudah pulang sebelum persiapannya selesai, Louve."

Huh? Lalu itu salahku Ed?
 
Edward meletakkan kuenya di ujung meja, merogoh ceruk celemek —oh iya, baru kali ini Louve melihat Edward menggunakan celemek!—dan memasang dua pasang lilin berangka, "Happy birthday, Louve!"
 
"Astaga.... Aku lupa!"
 
"Yap, aku tau Louve. Aku tau...." cengiran angkuhnya melebar. Louve rasanya bingung, antara seang karena kejutan Edward, atau sebal dengan garis lengkung asimetris bibinya. "Come on, Louve..... Tiup lilinnya dan kita bisa makan. Aku lapar."
 
Louve membelalakkan mata dan mendengus
Edward!
 
"Ah iya! Ini hadiah untukmu." ujar Edward setelah Louve meniup lilin.
 
Louve benar-benar tidak mengerti Edward hari ini. Edward habis terbentur Charlis Bridge? Atau di Praha, ia sudah di cuci otak? Sejak kapaaaan seorang Edward punya waktu membuat cake? dengan hiasan-hiasan seperti itu pula! Eh, memangnya ini, Edward sendiri yang buat? Dan sejak kapan, Edward memberi kado? Ah, It's Edward. Manusia paling sibuk dan business-oriented! Biasanya juga Louve yang menyiapka pesta kecil seperti ini.
 
"Apa ini Ed?" tanya Louve, sembari memainkan kadi Edward. Okay, sepertinya Edward tidak sepenuhnya dicuci otak. Ini khas Edward. Ia bahkan tidak repot-repot membungkus kadonya. Toples kecil dengan tutup dari busa — seperti tutup wine—  berisi kertas origami berbentuk bintang kecil-kecil, dan warna-warni. Di lehernya diikatkan tali warna hitam dengan kartu kecil yang digantungkan. Louve tidak tau maksud pita hitam di sini. Apa Edward sedang berkabung untuk hari ulang tahunnya? 
 
Happy birthday Louve!
All my wishes for you and us in here
-Edward-
 
"Hmmm... itu bintang kertas. Jadi aku membuatnya khusus untukmu. Kalau kamu membukanya, di sana aku sudah menulis harapan-harapanku ke kamu. It's so many wishes" jelas Edward. Sementara Louve masih terkejut dengan fakta Edward membuat barang kecil-kecil itu sendiri. "Kamu tau kan, cerita kalau kita menulis harapan di kertas dan melipatnya menjadi bintang, maka harapan itu akan terkabul? Kamu tau kan? Kamu tidak tau, ya? Emhh... aku mendengarnya dari Shang. Ingat kan, teman kuliahku yang dari Beijing? Jadi, aku pikir, di sela kesibukanku, aku ingin membuatnya juga— "

"Well, okay.... Stop, Ed." Louve tergelak kecil mendengar Edward mengoceh. Ini pun juga khas dari seorang Edward, ketika ia merasa malu untuk menjelaskan. Edward bukan tukang bicara, tapi ia akan berbicara banyak kalau mulai merasa canggung.... dan malu, "Jadi, kamu sendiri yang menulis dan memasukkan keinginan-keinginanmu di sini?"
 
Edward mengangguk. Menggaruk tengkuknya canggung. Pipi dan telinganya memerah.

Louve membuka toplesnya dan mengambil satu bintang. Ia membuka lipatannya "I wish I'll be able to spend so many more birthdays with you," baca Louve keras, dan rasanya Edward ingin menghilang dari muka bumi, atau bersatu dengan udara, atau mencair ke dalam tanah, atau apapun saking malunya. Sungguh, Louve ingin tertawa terbahak atau menunjuk-nunjuk pipi merah pada Edward, atau apalah untuk sekedar menikmati momentum itu.

Namun tidak. Louve hanya berdeham —separuh ingin menahan gelaknya— dan berkata "Bagaimana cara membuatnya? Ajarkan aku....."

Raut Edward berubah cerah. Setidaknya bahasannya beralih. Sedikit. "Okay, Louve!"

Tangan Louve bergetar saat ia menulis secarik kertas tipis. I wish I could forget you. Melipatnya hingga menjadi simpul datar, membentuk pentagon hingga lipatan terujung, lantas menekan tiap sisinya. Bintang kertas kecil terbentuk sempurna.

Ia menggenggam bintang sempurna itu lemah, seakan takut jemari merusaknya. "I wish I could forget you," bisiknya, meyakinkan doanya dengan nada bergetar dan bintang itu terjatuh, berkumpul dengan harapan-harapan lain toples.

Louve membuat bintang yang lain, dengan harapan yang sama. Menjatuhkannya di antara bintang lain. Bahkan hingga bintangnya yang kesekian, ia masih tidak mampu menatap bintang kertas dalam toples itu. Karena harapan yang terlimpah di sana adalah ketika cinta masih membumbung tinggi. Ia terlalu takut. Terlalu menyakitkan.

Harapan di antara bintang-bintangnya selalu serupa, untuk melupakan. Yang ia tidak sadar adalah, cina selalu punya caranya sediri untuk membuatnya ingat. Seperti bagaimana burung yang tidak pernah lupa dengan rumahnya.

Louve menutup mata sekali lagi, membiarkan kenangan keluar dari pandora dalam otaknya.

~o~

"Kamu lupa, Ed?!" nada Louve meninggi. "Ini ulang tahun pernikahan kita, Ed!"

Louve tidak mengerti harus berkata apalagi pada suaminya. Ia sudah mencoba untuk mengerti business-oriented dalam otak Edward. Lupa dengan janji-janjinya, ia selalu memaafkan. Lupa dengan hari ulang tahunnya, ia maklumi. Lupa dengan hari pernikahan mereka? Ia tidak habis akal.

Itu adalah hari yang paling ia nanti, dan itu bukanlah apa yang menurut Edward penting untuk ditulis dalam agendanya.

Louve sudah menyiapkan segalanya dari pagi. Bahkan belajar memasak Sup Kanada dengan Mama Edward sejak jauh hari. Hari itu ia mengambil cuti kerja, untuk mengerjakan semuanya. Dan Edward... tidak pulang dan baru sampai rumah nyaris subuh. Ia sudah menghubungi, namun tidak ada yang dijawab.

Entahlah. Louve tidak bisa berkomentar.

"Maaf, Louve. Tugas kantor sedang banyak sekali... dan aku tertidur di kantor. Sorry, Louve..." ucap Edward, separuh memohon.

Louve tidak tau. Mungkin tidak mau tau. Entahlah.

Ia menghempaskan tubuhnya di pinggir ranjang. Dua tangan berpangku pada lutut, menelungkup wajahnya. Terdiam sejenak, lantas menatap Edward, menyerah "You know, Ed? I'm tired?"

"Louve?"

"Memangnya apa yang aku inginkan, terlalu muluk?" tanya Louve. "Aku hanya minta satu, untuk kamu mengingat hari ini, Ed. Apa terlalu berlebihan?"

Edward tidak menjawab. Dan Louve tidak mau repot melongok, bagaimana Edward menatapnya, "You can go, Ed. Pergi dan urus semua urusan bisnismu. Aku tidak peduli."

"Louve, please... I'll make up."

"Aku capek, Ed..." ujar Louve memotong ucapan Edward. Kali ini, mata mereka bertemu. Segalanya, termasuk wajah, suara, ekspresi, tingkah Edward membuatnya naik pitam. Sejujurnya cinta selalu memberi maaf. Tapi kadang, emosi menggelapkan jalannya. "Kamu tau pintu keluar, Ed. I'm not.... happy with you."

Tentu saja itu tidak benar, dan ia tau, perkataan itu menyakitkan bagi Edward. Tapi untuk beberapa saat, ia ingin melakukannya.

Edward mematung. Beberapa saat kemudian, Edward membuka lemari pakaian. Mengeluarkan koper dan memasukkan pakaian sembarangan. Louve masih tidak bereaksi. Edward menghela napas dan berbalik meninggalkan kamar. "Aku pergi, Louve."

Louve mendengar suara langkah kaki Edward, gesekan roda koper dan pintu apartemen mereka yang ditutup keras.
o
o
~o~
o
o

 
Terluka tidak selalu berdarah.

Karena Louve tau, ada pisau yang menancap di dadanya. "Maaf, Ed..." Tubuh Louve terjatuh. Memeluk dua tugkainya, ia menanamkan wajah diantaranya. Air mata yang sejak tadi dibendungnya tinggi-tinggi, terjatuh. "Maaf, Ed. Jangan pergi... Maaf..."

Ia tidak tau, mengapa segalanya berubah menjadi seburuk ini.

~o~

Louve menulis dilembaran kertas tipis yang belum dilipat. I wish I could just forget you. Jemarinya lantas menyimpul dan melipatnya. Air matanya dengan lembut meluncur di pipinya.

Ia menatap bentukan bintang di tangannya. Alih-alih menjatuhkannya ke dalam toples, ia malah meremas bintang itu hingga remuk. Lantas menggeludungkan di atas meja. Louve menatap kertas kusut itu dan toples di sampingnya. Ia tidak mengerti, mengapa tangannya tidak mendengarkan otaknya?

Pada lembaran kertas panjang, tangannya tertuju. Louve mencoba menulis kalimat yang sama, untuk berakhir menjadi gumpalan yang sama. Begitu juga dengan beberapa kertas selanjutnya. Untuk beberapa saat, ia termangu. Lalu mengambil kertas lainnya dan meraih pena. Ia memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam.

I wish...

Gerakan tangannya terhenti sejenak. Memberi waktu pada dirinya sendiri, untuk memungut kekuatan. Untuk jujur pada hati. Untuk menepis ego. Separuh bergetar, Ia kembali menulis.

you'd come back

Menatap bintang kertas yang baru saja dilipatnya, Louve menyadari, betapa bodohnya apa yang ia inginkan. Ia menggigit bibir bawahnya, keras-keras. Mengepalkan tangan hingga bintangnya mengernyut, hendak melemparnya ke tong sampah.

Bel apartemennya berbunyi. Jam dua belas malam.

Louve terperanjat. Terengah. Tangannya mengudara, terhenti. Bintang kertasnya jatuh, tepat di antara ratusan bintang dalam toples. Ia langsung melihat dalam toples. Bumi seakan berhenti berputar, ia kehabisan udara untuk bernafas. Yang ia lihat hanyalah satu bintang kertas renyuk berwarna putih di antara puluhan warna lain.

Ketukan di pintu apartemen terdengar.

Louve menyeret kakinya di depan pintu. Detak jantungnya berpacu sementara tangannya menggenggam kenop. Seolah ia tau apa yang tersembunyi di balik ketukan.

Ketukannya terdengar lagi. Satu tarikan nafas panjang dari seorang Louve, dan ia membuka pintu perlahan. Matanya tertumbuk pada pria yang berdiri di depannya.

Ia berada di sana. Rambutnya berantakan. Matanya menyiratkan penyesalan. Keduanya terdiam, pada senyap yang tidak berani mereka pecahkan.

Meraih kedua tangan Louve, Edward memberikan bintang-bintang kertas di telapak tangan Louve. Pandangan Louve mengekor pada apa yang ia genggam. Ia membuka lipatan bintangnya, masih dalam kebisuan. Dengan Edward yang masih berdiri di depannya.

I wish you could forgive me

I wish I could fix my faults

I wish I could hold you again and never let you go

Louve menggigit bibir bawahnya, menahan ceguk di tenggorokanya. Sementara Edward meneguk ludahnya dan berkata lirih "Happy birthday, Louve"

Dua sudut bibir Louve mengembang. Alih-alih membalas ucapan Edward, ia menarik pintu lebar-lebar.

"Welcome home Edward!!"

~o~
Read More

Welcome to my little world

Diberdayakan oleh Blogger.

Temukan Aku di...

Followers

© Bienvenue, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena