Welcome to my little world

Jumat, 26 Agustus 2022

Almost Lover

 ...
You'll know I'll always love you
You'll know I'll always care
And no matter how far I may go,
In my thoughts,
You'll always be there
(Beyonce- Hard ti Say Goodbye)
 
Tidak pernah ada waktu yang tepat untuk saling mengucapkan selamat tinggal. Tidak hari ini, tidak kemarin, bahkan untuk tahun-tahun menjelang.
 
Tidak ada yang menginginkan. Tapi ada kalanya cinta tidak cukup kuat untuk menjadi tumpuan.
 
Sebuah motor meraung, menantang jalan raya. Jarum speedometernya semakin meliuk ke kanan. Kecepatannya menggila. Tidak terhitung berapa kali sang pengendara menyelip tanpa ragu. Tidak oerlu waktu lama, jalanan oerlahan semakin sunyi. Serasa dialah penguasa lintasan. Dari motornya membahana, memecah hening.
 
Di balik helm yang menutup seluruh wajahnya, sang pengendara tidaklah lebih dari seorang lelaki yang  tidak mampu berpikir. Terlalu sesak. Terlalu sakit.

Giginya bergemeletuk; menahan yang seharusnya tidak perlu jatuh. Tangannya mencengkram kelewat erat; melesakkan yang tidak perlu tertumpah. Tapi gagal

Dia gagal

-

"Kamu tau ini tidak benar kan Brey?" dia menggenggam jari perempuan mungil dihadapannya erat. Tidak terbayangkan baginya hari ini akhirnya datang. Ah, mungkin terbesit, tapi dia menghalaunya.
 
Perempuan itu duduk di depannya, dengan mata berkaca. "Tapi kan kita belum mencobanya, Luc..." rengeknya.
 
"Brea, kita tidak perlu mencobanya untuk tau."
 
-

Mendadak dia menghentikan lajunya. Dia turun dari motornya dan membanting helmnya keras. Benda itu terpelanting, memantul sejenak dan berputar, sebelum berhenti di tengah jalan.

Tidak usah dibayangkan penampilannya yag kusut. Dia tidak ingin repot memperhatikan penampilannya. Tangannya menjalar, dari pelipis dahi ke helai rambut. Menjambak tanpa henti, mengusutkannya.

Sia-sia. Air matanya tetap mengucur.

-

Perempuan itu terdiam. Tidak terucapkan bagaimana lelaki itu berhasil memecahkan hatinya hingga serpihan. Giginya mengigit bibir bawahnya hingga memutih. "Luca, kamu... membenciku?"
 
Luca terperanjat. "Apa yang kamu katakan?! Tentu saja tidak!"
 
"Lalu? Kamu mencintaiku?" tanyanya, menatap sengit.
 
"Brey, please...."
 
Brea mendengus, "See? Kamu membenciku Luca." Dia lantas melepaskan genggamannya dan melanjutkan, "Aku tau, au menyebalkan, kepribadianku buruk. Aku cerewet, memintamu melakukan ini dan itu. Kita sudah bersama sekian lama, dan kamu diam-diam membenciku. Iya kan Luc"
 
Sang lelaki berkilah tidak sabar, "Brea! Pertama, kamu tidak seperti itu. Kedua, aku tidak masalah kamu memintaku melakukan apapun. Ketiga, aku tidak membencimu."
 
"Kamu mencintaiku?" Kejar Brea, lagi.
 
"Brey.... Aku...."
 
Satu butir jernih tergelincir. Situasi yang dibenci Luca. Tidak pantas seorang putri menangis, katanya dulu.
 
"Is it wrong if I want ti have just you, Luc?"

-

Lelaki itu jatuh terduduk, tepat di samping motornya. Menghempaskan tubuhnya ke jalanan. Dibiarkannya butiran-butiran tanpa henti mengalir.

"AAAAAAAAAARRRRRGGGGHHHHH"

Hari ini saja, dibiarkannya dirinya jatuh.

-
-
...

Goodbye, my almost lover
Goodbye, my hopeless dream
I'm trying not to think about you
Can't you just let me be?
(A Fine Frenzy - Almost Lover)
 
Tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa selamat tinggal akan seberat itu. Dan membiarkan seseorang pergi akan jauh lebih berat.

Tidak ada yang menginginkan. Namun ada kalanya cinta tidak cukup kuat untuk menjadi tumpuan.

Bus berhenti; beberapa orang masuk dan mencari tempat. Seorang perempuan memilih duduk di samping jendela. Kepalanya bersandar pada kaca, seakan untuk menyanggah tubuhnya saja menjadi hal yang sulit. Matanya menghujam jalanan, pandangannya tetap kosong. Manik mata yang memantul momentum tidak menghantarkannya ke otak.

-

Tangan kekar Luca menarik tangan mungil Brea; menggenggamnya kembali. Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Kesunyian yang dibencinya. "Luc..."
 
Kepala lelaki itu mendongak, menatapnya.
 
"Aku cinta kamu, dan kamu juga cinta aku, kan, Luc?"
 
suaranya melirih. Lembut yang selalu dia gumamkan di malam-malam pengantar tidur Brea. "Brea, yes, I love you. Too much."
 
"Then? Kenaoa kita tidak berusaha menjadikannya nyata?"
 
Luca menghela napas. Seandaiya dia bisa.
 
"Brey, c'mon, wake up! Kita saudara"
 
-
 
Perempuan itu ditampar kenyataan, jika kata 'dibangunkan' masih kelewat halus untuk mengembalikan pada realita.
 
..... Brey, wake up!
 
Ada yang nyeri hingga ke ulu hati. Tangannya mencengkram dada kanannya. Seakan memberikan tempat yang lebih luas untuk ketenangan. Nyatanya tidak. Sakit yang sama masih tetap di sana. Menjalar ke seluruh nadi. Memancar hingga jarinya bergetar.
 
-
 
Tidak ada yang lebih memasung ketimbang kebiasaan yang kemudian dipaksa menghilang. Mungkin mereka sudah terlalu lama bersama. Terlalu lama berpura. Terlalu lama saling mencinta.
 
Terlalu lama, dan tidak berpikir akan ada akhir dari segala yang mempunyai awal.
 
"Luca, kalau kamu nggak ada, aku sama siapa?" cicitnya tidak terhitung air mata yang lantas jatuh.
 
Ibu jari Luca mengapusnya. Bibirnya menyentuh ringan ujung dahi sang perempuan. "Nanti pasti akan ada orang yang sayang sama kamu, mungkin lebih besar dari aku."
 
Tidak ada yang menginginkan. Tapi ada beberapa hal yang tidak terhindar.
 
"Nggak ada, Luc! Nggak ada. Aku maunya kamu!
 
-
 
Mulanya dia yakin, tidak ada air mata setelahnya. Tentu saja. Estimasinya terpatahkan. Pelupuknya tidak mampu menahan genangannya, membiarkannya jatuh hingga ke dagu.

"Sakit, Luc..." rintihnya, nyaris tanpa getar di pita suaranya.

Bahkan disaat kepalanya dipenuhi dangung berulang, suara lelaki itu masih terngiang.

"Yakinlah, Brey. Rasa sakit itu seperti halnya segala sesuatu yang lain, sifatnya transisional."

0 komentar:

Welcome to my little world

Diberdayakan oleh Blogger.

Temukan Aku di...

Followers

© Bienvenue, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena