Saturnus membutuhkan waktu dua puluh sembilan tahun untuk
kembali ke titik di angkasa di mana planet itu berada pada saat kita dulu
dilahirkan. Sampai hal itu terjadi, semua tampak mungkin, impian-impian kita
jadi kenyataan, dan dinding-dinding apa pun yang mengelilingi kita masih dapat
dirubuhkan. Ketika Saturnus menyelesaikan siklus ini, romantisme apa pun akan
berakhir. Pilihan-pilihan bersifat pasti dan nyaris tidak mungkin berubah arah
[1]
Dan tepat pada hari
ini, aku telah menyelesaikan siklus Saturnus-ku yang pertama.
“Jadi, kapan kau mau menikah?”
“Mom…”
“Este, apa kamu tidak malu tiap kali temu keluarga, Granny menyindirmu
dengan panggilan spinster[2]?”
Aku memutar kedua bola mataku yang kini terlihat lebih jelas
dan bulat setelah melakukan eyelid surgery dua tahun lalu. Momma
bilang mataku terlalu sipit dan zaman sekarang wanita yang punya mata
seperti itu tidak populer, jadi ia memaksaku menguras tabungan untuk melakukan
operasi plastik tak berguna itu.
“Mom, aku tidak peduli apa yang Granny atau keluarga kita
katakan tentangku. Aku bisa mengurus hidupku sendiri,” jawabku sembari melipat
kedua tangan di depan dada. Kulirik jam dinding di apartemenku was-was karena
kehadiran Momma bukanlah yang aku harapkan—pukul tujuh malam dan ia
datang ke sini hanya untuk mengingatkan tentang umurku yang bertambah juga
pernikahan. Cih, sungguh menyenangkan.
“Apa kauingin aku mengatur kencan buta untukmu?”
“Mom!” aku berseru nyaring dengan wajah risih; muak ditawari
hal yang sama jutaan kali. Dulu, pernah sekali aku menurut, tapi Momma malah
memberiku duda tua menjijikan yang belakangan ini baru kuketahui adala kolega
bisnis Dadda.
“Kalau begitu, kaucarilah sendiri!” sahut Momma sama
frustasinya. “Kau tak ingin dijodohkan, tapi sampai sekarang pun tak satu orang
pria yang kaukenalkan. Sebenarnya apa maumu?”
Aku terdiam. Membuang muka ke tembok sembari mengenang
banyak luka. Tidakkah kau ingat, Mom, aku pernah memperkenalkan seseorang
padamu? Dan kau bilang pilihanku itu tak pantas. Keluarga Marlowe punya standar
yang tinggi, mana mungkin menerima seorang musisi serabutan ke dalam keluarga.
Kau memaki pria yang kucintai itu dengan kata-kata kasar, kau buat hatinya
mendera begitu juga aku. Hingga akhirnya kami berpisah dan ia mengutukku karena
perlakuan Momma telah membuatnya merasa sangat terhina.
Sejak itu, Mom. Mencintai pria lain adalah ketakutan
terbesarku.
“Celeste Marlowe…” Momma memanggilku dengan lebih lembut,
lalu duduk merapat dan menggenggam jemariku. “Kau tahu, aku dan Dadda begitu
menyayangimu. Kau putri kami satu-satunya dan kami tak ingin kau menikahi pria
sembarangan seperti musisi sinting waktu itu.”
Oh, tak kusangka Momma ternyata masih mengingat pria pertama
dan terakhirku itu. Padahal, kejadian itu telah berlangsung lebih dari lima
tahun yang lalu.
“Hungaria begitu luas, Este, pasti ada banyak pria
baik juga mapan yang mau menjadi suamimu.” Tangan Momma terangkat dan menyantuh
wajahku, aku diam saja meski hatiku ingin menepis tangan yang dulu pernah
menamparku begitu keras. “Kau cantik, berpendidikan, dan berasal dari keluarga
yang baik. Kau bekerja di perusahaan ternama dan berada di posisi hebat untuk
wanita seusiamu. Kau wanita kelas A. Mudah saja bagimu untuk menemukan
pengganti pria itu.”
“Mom, aku sudah melupakannya.” Aku memiringkan kepala,
mencoba menghindari sentuhan tangan Momma.
“Kalau begitu panjangkan lagi rambutmu.” Kini tangan Momma
beralih pada rambut hitamku yang berpotongan pixie, menyisipi
riapnya lembut meski kutahu ia ingin sekali menjambak rambutku dan berteriak di
depan wajahku ‘anak tak tahu untung’ sama seperti dulu. “Kau tak pernah
memanjangkannya sejak putus dari pria itu. Aku rindu rambut panjangmu yang
indah.”
“Mom, lebih baik Momma pulang dan tinggalkan aku sendiri.”
Akhirnya kutepis tangan Momma, mendorong bahunya lalu berdiri dan berjalan
menuju jendela yang mengarah langsung ke lautan lampu kota Budapest. “Ada hal
penting yang harus kulakukan sekarang,” imbuhku mencari-cari alasan.
Kudengar Momma mendesah, ia menatapku prihatin sebelum
akhirnya berkata, “Baiklah, aku akan pulang sekarang.” Wanita yang kelihatannya
selalu penuh keanggunan itu berdiri dan menatapku untuk yang terakhir kalinya.
“Tapi aku akan kembali lagi dengan membawa beberapa foto dari biro jodoh milik
kenalanku.”
Mendengar itu aku langsung membuang muka ke luar jendela;
mengabaikan Momma serta langkah kakinya yang pergi meninggalkanku sendirian.
Hah...
Aku bertolak pinggang, mengalihkan pandanganku dari lautan
lampu menuju langit kelam tanpa bintang di atas sana. Hari ini, dua puluh
sembilan tahun yang lalu Siklus Saturnus-ku dimulai. Banyak hal yang terjadi di
hidupku, Saturnus membawaku pada mimpi-mimpi masa muda yang kini terasa seperti
racauan aneh orang sinting, juga pada masalah-masalah besar yang banyak
mengubah arah hidupku. Di titik ini, segalanya berakhir dan aku pun mengenang
kembali perjalanan panjang hidupku yang rasanya begitu menggelikan seperti film
komedi tengah malam. Tapi aku tahu, ketika segala sesuatunya telah berakhir, di
waktu yang sama ada banyak hal baru dimulai…
Ting! Tong!
Aku tersentak tatkala suara bel membuyarkan lamunanku.
Sontak aku berlari menuju pintu dengan senyum merekah tak tertahankan karena
sudah tahu pasti siapa yang menantiku di sana—kedatangan yang sebenarnya sudah
kutunggu-tunggu sejak tadi meski kehadiran Momma yang tak terduga merusak
suasana hatiku.
“Happy birthday, Cee!”
Suara manis itu menyambut cuping telingaku sesaat setelah
aku membuka pintu, seperti ada gempuran rasa bahagia yang luar biasa suasana
hatiku langsung berubah drastis. Senyumku pun tertarik semakin lebar hingga
rasanya bibirku nyaris sobek tatkala mendapati sosok mungil itu berdiri di
hadapanku dengan membawa kue ulang tahun berukuran sedang dengan banyak lilin
menyala di atasnya.
“Thank you, Ellie,” balasku sembari meniup seluruh
lilin dalam sekali embusan napas panjang.
“Ayo, masuk!” ajakku sembari mengambil kue di tangan gadis
berambut panjang itu dengan satu tangan sementara tanganku yang lain meraih
jemarinya.
Dalam hitungan detik, kue itu sudah kuletakan begitu saja di
atas meja ruang tamu, lalu langsung menarik tubuh Elara Vienne ke dalam
pelukanku—mencari-cari ketenangan yang selalu kudapatkan saat bersamanya.
“Ellie…” bisikku lembut, bisa kurasakan gadis itu kaget
dengan tindakanku tapi sesaat kemudian ia pun balas memeluk pingganggku
erat—selalu mengerti apa yang paling aku butuhkan seperti sekarang ini.
“Aku bahagia bersamamu.”
Tawa gadis itu berkumandang, ada bahagia yang sama terselip
di antaranya. Ia mengangguk dan meletakan kepalanya di bahuku dengan rasa
nyaman seolah-olah semua terasa tepat.
Tidak.
Semua memang terasa tepat.
“Aku juga bahagia, Cee,” balasnya sembari mengecup lembut
pipiku dan detik itu pula Siklus Saturnus-ku kembali di mulai. Dan kali ini,
aku tak akan pernah mengulangi kesalahan yang sama seperti sebelumnya.
Akan kutentang dunia untuk mempertahankan apa yang telah
kumiliki sekarang.
~
[1] Dikutip dari buku Selingkuh karya Paulo
Ceolho, hal. 46 alinea keenam
[2] Seorang wanita yang belum menikah, terutama wanita yang
sudah tidak muda lagi dan tampaknya tidak akan pernah menikah