Welcome to my little world

Kamis, 07 Agustus 2025

Seandainya Pongah itu Kita Buang ke Laut Saja

 Putih adalah warna kesukaan Niralyn selain merah muda. Namun, ketika ia melihat pria itu mengenakan kemeja berwarna putih, mencukur rambutnya hingga cepak, dan menghilangkan bulu-bulu di wajahnya begitu bersih serta rapi - seperti yang selalu ia bayangkan dalam benaknya, entah mengapa Nira merasa risih.

 Terlalu tidak biasa.
 
 Terlalu bukan Kael yang ia kenal dulu saat masih mencium pipinya dengan bibir beraroma mentol atau sesekali berpengar alkohol.
 
 "Sehat kamu Dek?"
 
Pertanyaan pilon kalau tidak bisa disebut basi. Nira mendengus di dalam hati, tapi dengusan itu menyetrum debaran jantungnya yang entah sudah berapa lama mati suri.
 
 "Sehat Kak." sahut Nira ringkas. "Kakak bagaimana?"
 
Bibir yang membiru akibat kecanduan nikotin menahun itu menyunggingkan semyum dan Nira tau betul debaran di dadanya semakin memburu.
 
"Kakak sehat," kata Kael tenang. Sulit untuk menebak apa denaran yang Nira rasakan sekarang juga dirasakan oleh pria itu atau tidak. "Sudah berhenti merokok aku sekarang."
 
Informasi tidak penting. Nira menggerutu dalam hati. Meski tidak bohong kalau ia merasa senang akan hal itu.
 
"Kalau minumnya bagaimana, Kak?" tanyanya tanpa sungkan, naluri ingin tau yangg besar selalu menghantarkannya pada pembicaraan-pembicaraan tidak penting lainnya.
 
Kael terkekeh, getaran suaranya begitu merdu di telinga Nira. "Sesekali aja, Dek. Kalau lagi jalan sama temen."
 
"Jangan kebanyakan minum, Kak. Kakak udah gak muda kayak dulu lagi, loh!" terkutuklah bibir cerewet Nira yang termasyur itu. Memang dia siapa? Apa statusnya? Apa haknya?
 
"Ah, masih cerewet aja kamu Dek." Kael kembali tertawa. Ah, adakah rindu yang terselip diantara tawa itu?
 
"Hehe, susah hilangnya, Kak." cengiran Nira menghiasi wajah, disusul tawa kecil dari masing-masing bibir yang dulu pernah saling sentuh begitu mesra.
 
Beberapa detik berlalu, tawa kecil itu mereda secepat ia datang, lalu hening menduduki suasana. Dilatari sudut bar, senja lembayung di Pantai Malibu, musik jazz kuno, gelas-gelas yang berdenting, dan suara-suara perbincangan yang seolah-olah saling sahut-menyahut dari meja yang satu dan yang lainnya. kisah pertemuan sepasang mantan kekasih ini tampaknya seperti sebuah cerita pendek yang ditulis di penghujung malam oleh seorang penulis kesepian atau mungkin seorang sahabat yang prihatin. Oh, entahlah, suka-suka saya. Namun, hanya ada satu hal yang pasti dari pertemuan ganjil di dalam kisah ini.
 
Nira tau ia merindukan pria itu -lama sekali- hingga dirinya sendiri lupa bagaimana rasanya merindu. Sepercik momen tentang hubungan singkat mereka yang hanya bertahan tiga bulan itu tidak memungkinkannya untuk meyimpan kenangan terlalu banyak seperti cinta pertamanya yang berjalan selama tujuh tahun dulu. Namun, kehadiran kael terlalu menyakitkan juga membahagiakan untuk dilupakan.
 
Pria itu datang dengan cara yang tidak biasa. Menjungkir balikkan perasaan serta logika sistematis golongan darah A yang selaly menuntut segalanya serba sempurna milik wanita itau menjadi prinsip-prinsip tidak berguna. Nira merasakan pengalaman mencintai dan dicintai yang tidak biasa karena Sang Idola Kampus jurusan teknik sipil itu dibuat tak berdaya akibat keurakan abadi serta jiwa bebas pria itu tidak bisa dikendalikan. Lidah galak wanita itu terbungkam oleh rasa sayang. Ibarat harimau betina yang telah menemukan pejantannya, Nira memasrahkan dirinya menjadi wanita yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
 
Ah, tersiksakah ia? Tentu saja.
 
Namun cinta yang tidak biasa itu membutakan segalanya. Perhatian-perhatian kecil yang mungkin lebih kecil dari kecil, terasa begitu berarti ketika Nira mendapatkannya; ciuman itu serta pelukan mesra yang terasa begitu asing di tubuhnya menghadirkan getaran luar biasa berskala gempa; dan masih banyak lagi kasus-kasus penting yang sepertinya menutupi segala kekurangan pria itu di mata Nira. Saya kira mengisahkan hal itu akan membuat momen kilas balik in menjadi membosankan untuk dibaca atau mungkin juga terlalu menyakitkan untuk dikenang kembali.
 
Lagian, semuanya sudah berakhir, kan?
 
Kaelith memutuskan Nira dengan cara sangat terhormat - melalui pesan singkat bermedia smartphone. Oh, tersanjungkan Nira? Sangat. Nira tidak pernah memutuskan hubungan. Ia selalu menjadi yang pertama mengucapkan kata terkutuk itu bagi semua pria yang numpang lewat di hidupnya. terlalu berego untuk bernego mencari jalan keluar lain selain berpisah, Nira menyetujui keputusan itu dengan gagah berani tanpa memikirkan efek dramatis setelahnya -tangisan diam-diam dalam lagu-lagu yang diputar setiap malam; nyanyian cempreng yang menghantarkan neraka kecil bagi seluruh penghuni rumah, senyuman-senyuman palsu, tawa palsu, status-status sok bahagia seperti "I'm single and very very happy" yang mengundang pria lain, menyapa kembali, oh dan sebagainya, dan sebagainya...
 
Nira tidak membiarkan kesedihan muncul dipermukaan. Wanita itu menelannya seperti pil pahit yang ia pikir dapat menyembuhkan oatah hati. Namun, nyatanya?
 
Sembuhkah hati itu?
 
Tidak ada yang tau. Mungkin iya, karena waktu yang terus bergulir selalu menjadi motivasi orang0orang untuk melanjutkan hidup dan melupakan masa lalu. Mungkin juga tidak, karena setiap luka menyisakan bekas yang tidak pernah hilang sampai kubur memisahkan raga dan roh. Yah, lagi pula kisah ini bukan tentang spekulasi-spekulasi tidak penting seperti itu. Ini hanyalah kisah sederhana tentang pertemuan kembali antara kenangan dan kenyataan yang tampaknya berjalan tersendat-sendat karena setelah menjelaskan beberapa kenangan yang seharusnya dapat dituntaskan dengan cara yang sangat sederhana; saling memahami.
 
"Sudah lama ya, Dek." Kael mengusir hening, membuat Nira tersentak dan bangkit dari dimensi ruang-waktu yang hanya dirinya sendiri yang mengerti.
 
"Iya, Kak. Sudah tujuh tahun. Gak berasa ya Kak." Nira memaksakan senyum sekarang, debaran di dadanya hilang, berganti desiran angin yang menyakitkan.
 
"Tinggal di sini Dek?" Kael menatap Nira lekat tanpa berkedip. Seolah-olah bukan pertanyaan receh seperti itu yang ia tanyakan.
 
"Gak ada yang gak enak di Malibu, Kak. Semuanya enak." Senyum masih tertoreh di wajah manis itu. Secara otomatis terpampang berkat latihan seumur hidup dan dedikasi pada keramah tamahan yang tidak pernah ia khianati sebagai perempuan yang lahir di Savannah.
 
Kael termenung beberapa detik. Nira dalam benaknya adalah wanita yang selalu pandai berdusta tentang perasaan. Sama seperti dirinya.
 
"Sudah sembih hatimu, Dek?" Kael menusuk. Mengakhiri percakapan tidak penting demi kesopanan di awal pertemuan. "Tuntas sudah galaumu?" imbuhnya lagi, seakan belum cukup mempertegas pertanyaannya.
 
Bibir Nira bergetar; ada air yang mendesak naik ke permukaan mata bulatnya. Namun, lagi-lagi tertahan oleh ego serta harga diri yang menjadi tamen terkuatnya.
  
"Sudah kak." Senyum Nira terlihat ganjil.
 
"Belum, ya Dek." Itu bukan pertanyaan, tapi pernyataan. Kael menyungggingkan senyum yang sama gagalnya dengan Nira.
 
"Maafin Kakak." Kael meraih jemari Nira yang terpaut di sebrang meja dan membiarkan gestur itu menunjukkan kesungguhan. "Kakak waktu itu takut sama kamu, Dek."
 
Nira membungkam suaranya, tidak mencoba mengorek pertanyaan. Ia yakin suara yang keluar adalah pintu gerbang tangisannya.
 
"Kakak belum siap jadi pendamping perempuan sebaik kamu. Kakak ini brengsek, Dek. Malang sekali nasibmu kalau punya pacar aku."
 
"Kakak tau aoa emang sial perasaanku?" sebulir air mata leleh tepat setelah Nira membuka mulutnya, namun ia membiarkan angin Malibu menyapu air mata itu pergi.
 
"Kakak tau Dek. Kakak tau semuanya." Kael meremas jari yang dulu sering ia genggam. "Makanya Kakak relakan kamu."
 
"Kakak egois." kecam Nira dengan suara bergetar.
 
"Memang Dek." Kael menyeringai. "Gak pantes buat kamu."
 
"Hak apa Kakak memutuskan apa yang pantas dan tidak untukku?"
 
"Kakak yang memutuskan apa Kakak pantas untuk kamu atau tidak."
 
Nira terdiam; meredam isak, meredam tangis. Ia punya banyak sekali pertanyaan  yang telah dipersiapkan selama bertahun-tahun untuk momen seperti ini. Namun sekarang semuanya luluh lantak tak tersisa, entah hilang kemana.
 
"Maafkan Kakak baru bisa ajak kamu bertemu sekarang." Kael melepas genggaman tangannya -melepaskan pula beban di hatinya. "Baru ada waktu."
 
"Bohong." sambar Nira. "Bilang aja Kakak menyesal!"
 
Kael tertawa hambar, menanggapi tuduhan itu tanpa berkata-kata. Nira lantas mengusap air mata yang terlanjur meleleh secepat kilat, menarik napas dalam-dalam, menuntaskan tangis yang terlanjur tampak.
 
"Apa kamu mau memaafkan Kakak?"
 
Nira terdiam, memandang pria terakhir yang pernah ia percayakan masa depan serta khayalan tentang 'suatu hari nanti' itu dengan gamang.
 
"Ya, ya udah. Aku maafin." Singkat saja kalimat itu, terdengar ketus dan tidak tulus. Namun, Nira tau beban menahun itu telah larung menuju lautan. Lega.
 
"Terimakasih, Dek" Kael tersenyum, begitu lebar dan menawan. Kebahagiaan terpancar di sana. Namun momen itu tidak berjalan lama, manik mata pria itu melirik jam. Penerbangan satu jam lagi, ia harus pergi. Ada banyak pesta yang menantinya di pulau lain.
 
"Dek, Kakak pergi ya. Nyusul pesawat."
 
Kael bangkit dari kursinya. Nira diam tidak bergerak -bertopang dagu- menatap lautan, dan merenungi jalan hidupnya yang lalu dalam hitungan detik.
 
"Seandainya pongah itu kita buang ke lautan, Kak." Nira menatap nanar matahari yang tinggal separuh di ujung horizon. "Seandainya aku tidak setuju diputuskan. Seandainya aku mau sekali lagi mengalah dan Kakak mau sekali saja bertanya tentang perasaanku sesungguhnya. Apa cerita kita akan berbeda, Kak?"
 
Kael memalingkan wajah pada langit-langit kedai kopi. Ia tersenyum perih.
 
"Mungkin saja, Dek."
 
Hening.
 
"Baik kah dia, Kak?" Nira diam sejenak, menyusun kata-kata, "Calon istrimu itu, Kak. Lebih baik dia dariku?"
 
Kael mengenang pertemuannya dengan wanita baru itu. Bukan sosok yang lebih hebat atau lebih setia, hanya seseorang yang kebetulan datang saat ia sudah terlalu lelah berharap pada masa lalu. Ia tidak pernah benar-benar jatuh cinta, hanya ingin berhenti terluka.
 
"Iya Dek, lebih baik." jawab Kael mantap. "Dia tidak secerewet kamu," imbuhnya lagi, mengundang tawa kecil di bibir Nira, dan bibirnya sendiri.
 
Lalu dalam hening yang perlahan-lahan menggantikan tawa. Kael melangkah pergi, menyisakan kehadirannya yang ganjil serta kisah tentang pertemuan konyil berisi pembicaraan tidak penting akan masa lalu di belakang punggungnya.
 
Meninggalkan Nira yang kini tidak tau, apa masih memiliki hati untuk mencintai sekali lagi atau tidak.
 
♡ 

0 komentar:

Welcome to my little world

Diberdayakan oleh Blogger.

Temukan Aku di...

Followers

© Bienvenue, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena