Clara Montrosee tidak tau apa stocking oranye dan one piece t-shirt bercorak garis-garis vertikal merupakan perpaduan tepat untuk sebuah pesta vintage. Akan tetapi, itu yang dikatakan sebuah majalah fashion padanya bertahun-tahun yang lalu, maka ia menurut saja 一 bahkan ketika ia harus melangkah ke trotoar licin Bleecker Street dengan lampu Neon berkedip di atas kepalanya.
Sembari menunggu taksi melintas, wanita itu menatap etalase toko roti di belakangnya sejenak. "Baiklah, setidaknya aku tampak baik-baik saja," bisik Clara dalam hati sebelum akhirnya kembali mengalihan pandangan pada jalanan ramai kota Manhattan. Taksi melintas tepat setelah ia berbalik dan wanita itu sontak mengangkat tangan untuk menarik taksi itu mendekat.
"Downtown" kata Clara, sambil menghempaskan tuuh di jok belakang.
Taksi pun bergerak dan dalam sekejap Clara terjatuh dalam lamunan sembarii menatap hampa hutan beton yang mengelilinginya. Otaknya memutar kembali kenangan saat ia pertama kali menginjakkan kaki di kota ini.
Kala itu umurnya baru dua puluh satu tahun. Berangkat dari Texas menuju New York hanya untuk membuktikan pada keluarganya bahwa ia mampu menaklukan Broadway.
Naif. Seharusnya Clara tau Broadway bukan tempat yang ramah bagi gadiis kampung seperti dirinya. Clara datang dengan kepolosan yang dibutakan imajinasi. Ia menggunakan seluruh uangnya untuk mempercantik diri, membuat CV, lantas menyertakan foto dan rekaman suaranya untuk dijajakan pada setiap kesempatan 一 berharap beberapa sutradara meliriknya.
Satu bulan pertama semangat juangnya masih berkobar. Namun, kesempatan tidak kunjung datang hingga bullan ketiga terlewati dan tabungannya mulai menipis. Clara terpaksa bekerja di sebuah kedai teh tradisional yang berada tidak jauh dari flat murahnya di Chinatown sembari terus berharap handphone-nya berdering dan seseorang mengajaknya casting.
Enam bulan berlalu tanpa ada harapan dan perkembangan berarti. Clara mulai menyadari kebodohannya, namun ia terlalu malu untuk pulang dan mengakui kesalahan. Maka, ia bertahan. Mencoba mengumpulkan sisa harapan dan mimpinya yang masih tertinggal, lantas menunggu sedikit lebih lama lagi.
Maka, tepat pada hari natal pertamanya di New York, handphone Clara berdering. Nomor tidak dikenali. Dia pun mengangkatnya secepat kilat. Secercah cahaya menyusup saat suara di ujung sana memintanya untuk mengikuti casting sebuah peran kecil sebagai tokoh murahan yang muncul sebentar untuk dilupakan.
Ah, seseorang menginginkannya!
Clara sangat bahagia. Sejak hari itu, setiap hari Clara melatih dua baris dialog yang menjadi satu-satunya harapan yang tersisa. Hingga hari penentuan itu pun tiba dan Clara pergi menuju studio casting dua jam lebih awal meskipun namanya berada di urutan paling akhir. Ketika akhirnya ia dipanggil, dada wanita tu berdebar sangat kencang. Pada tiga langkah pertama ia memasuki ruangan, Clara merasa jantungnya nyaris menggelinding dan jatuh ke lantai. Dua langkah setelahnya, dia menarik nafas panjang sebelum berbalik menghadap tiga orang yang menjadi hakimnya hari ini. Dua detik berikutnya, mata Claara bertemu dengan mata kelabu pria itu.
Hanya perlu waktu lima detik untuk membuat dunia Clara jungkir-baik. Iris mata kelabu itu balas menatapnya dengan kekagetan yang sama. Ini pertama kalinya mereka bertemu, tapi jiwa mereka sepertinya tela lama saling mengenali.
Sebuah dehaman memecah momen singkat itu. Clara tersenyum kikuk, tapi matanya membara. Pria itu menatapnya lekat. Clara tiba-tiba saja merasakan dirinya berubah menjadi wanita jalanan yang diperankannya. Namun alih-alih mengatakan dua baris dialog yang diminta, ia mengatakan apa yang ingin dirinya sendiri katakan.
"Tolong. Cintai aku!"
Clara menjerit. Dua dari tiga orang di depannya tercengang, tapi pria itu tersenyum 一 begitu lebar, begitu menawan. Clara yakin ia tidak akan mendapatkan peran itu, tapi semesta memberikan hal yang lebih baik.
Sebuah pertemuan.
~
Namanya Elliot Granger, usianya dua kali lipat lebih tua dari Clara, dan ya, pria itu sudah beristri. Clara tidak tau bagaimana hal itu bisa terjadi. Pada mulanya wanita itu bermimpi menjadi seorang aktris Broadway, tapi ia berakhir menjadi perempuan simpanan seorang sutradara. Rasanya ingin tertawa sekaligus menangis, tapi Clara entah secara magis merasa bahagia karena ia begitu dicintai.
Dua tahun berlalu, Clara menikmati perannya sebagai WIL, kekasih, sahabat, serta kawan bicara Elliot. Tapiiii, hubungannya dengan Elliot menurutnya lebih dari sekedar perselingkuhan; cinta itu terlalu nyata untuk dikatakan sebagai nafsu belaka. Clara tidak lagi menginginkan panggung Broadway, ia hanya menginginkan Elliot.
Untuk dirinya sendiri.
Namun mimpi buruk itu pun terjadi tanpa bisa dihindari. Paparazi memergoki mereka saat berkencan di Central Park, memuat foto mereka sebagai headline surat kabar, dan dunia gemerlap Broadway gempar. Reputasi Elliot yang dikenal sebagai sutradara Broadway ternama juga sosok kepala keluarga yang baik, rusak. Status Clara sebagai mantan pemburu peran di Broadway pun menambah pahit berita yang beredar. Dua tahun surga yang Clara rasakan bersama Elliot kandas.
Malam itu, di musim dingin ketiganya di Manhattan. Elliot menyerah dan memilih menyelamatkan reputasinya.
Perpisahan itu diiringi tangisan Elliot dan Clara untuk yang terakhir kalinya.
Setahun kini telah berlalu, musim dingin datang lagi. Clara menetap di Manhattan, tidak juga pindah dari apartemennya yang lama. Ia kembali bekerja di kedai teh tradisional yang dulu ia tinggalkan dan menjalani kehidupannya seperti zombie. Clara tidak ingin mpergi karena separuh jiwanya berada di kota ini dan dia tau pasti, Elliot selalu memandanginya dari kejauhan. Maka Clara bertahan dengan rasa sakit serta rindu yang meradang, serta menunggu...
Menunggu Elliot kembali padanya. Menjadi Elliot-nya
Hingga dua hari yang lalu, seorang gadis yang berambut auburn mengajaknya bicara empat mata dan memberikan sebuah undangan pesta ulang tahun.
"Datanglah, ayahku akan ada di sana."
Seharusnya Clara mengenali wajah oval berbintik-bintik itu. Elliot pernah menunjukkan foto gadis itu padanya, namanya Sophie. Sophie Granger. Clara mengerjap, terkejut, dan tidak tau harus berbicara apa.
"Temui ayahku sekali lagi." Sophie meraih tangan Clara. "Jika ibuku menjadi alasan untuk tidak menemuinya. Aku akan katakan ini hal ini padamu..." Sophie menghembuskan nafas.
"Elliot bukan ayah kandungku."
"Elliot bahkan tidak pernah tidur dengan ibuku."
Clara diam terperanjat. Bahkan saat setelahnya Sophie kembali bertutur bahwa pernikahan kedua orang tuanya hanyalah sebuah kamuflase. Ibunya dihamili saat berada di puncak karirnya, ia membutuhkan pengalihan isu, dan Elliot di saat yang bersamaan memerlukan sokongan popularitas untuk karir sutradaranya yang tidak kunjung membaik. Mereka berdua membuat kisah bahagia tentang perrnikahan dan karir yang gemilang mengekori sandiwara itu. Sampai akhirnya, Elliot bertemu dengan Clara dan pria itu melupakan seluruh kepalsuan dalam kehidupannya.
"Miss, kita sudah sampai."
Clara mengerjap; otaknya pun berhanti memutar balik seluruh kejadian dalam hidupnya. Wanita itu lalu membayar jasa lantas turun dari taksi dengan perasaan campur aduk. Clara terdiam sejenak di trotoar. Ia genggam erat undangan pesta itu, sementara dadanya berdebar begitu kencang. Lalu akhirnya dengan sebuah tarikan napas panjang. ia melangkah mantap memasuki gedung apartemen itu.
~
Elliot Granger menjadi satu-satunya orang paling tua di ruangan itu dengan rambut lebih kelabu dari yang lainnya. Ia tidak habis pikir mengapa Shopie memintanya untuk hadir di pesta ulang tahun bersama sahabat-sahabatnya kali ini. Padahal gadis itu biasanya selalu memilih untuk melakukannya sendiri.
"Ayah." Sophie memanggil lirih. Elliot tersenyum.
"Ya. Sayang?"
"Aku ingin mengembalikan barang milikmu." Sophie mengambil sesuatu dari balik gaun berwarna hijau toskanya. Sebuah buku bersampul hitam yang sangat Elliot kenali.
"Sophie?" Elliot merebut buku itu dan langsung melemparnya begitu saja ke atas sofa tempat mereka duduk sekarang.
"Kenapa ayah membuangnya?" Sophie menyandarkan kepalanya pada bahu Elliot dan pria itu tidak bisa melakukan apapun selain terpau. "Aku sudah membaca semuanya."
Elliot membisu; lidahnya terasa kelu.
Sophie menarik napas dan mendesah. Alunan musik tahun 60-an menari di udara dengan syahdu dari piringan hitam. Pesta sedang berlangsung di apartemen itu, semua orang menikmati makanan dan minuman serta beberapa putung rokok di atas meja. Sophie telah menyapa satu per satu dan kini ia tengah menikmati waktu bersama ayahnya 一 membicarakan hal-hal.
"Kamu mencintainya kan, Ayah?" Sophie memejamkan mata, menikmati suara debaran jantung ayahnya yang memburu. "Mengapa Kamu tidak jujur saja?"
"Aku..."
"Ayah..." Sophie memotong ucapan Elliot. Ia tersenyum dalam tidur pura-puranya. "Bercerailah dengan ibu dan jangan khawatirkan aku. Kumohon, berbahagialah."
Seketika itu juga Elliot teringat akan Clara; wanita yang ia cintai serta dua tahun yang menggairahkan jiiwa dan raganya. Ia selalu menyesali banyak hal. Menihaki wanita yang tidak ia cintai dan terus bersandiwara. Namun, satu-satunya penyesalan terbesar dalam hidupnya adalah meninggalkan Clara malam itu一membuatnya menangis dan menunggu.
Tepat ketika Elliot hendak membangunkan Sophie yang berpura-pura tidur di bahunya untuk menuju tempat Clara berada. Pintu apartemen terbuka dan wanita itu masuk dengan cara yang sama seperti pertama kali mereka bertemu. Tiga langkah pertama penuh kegugupan, dua langkah selanjutnya dengan menarik napas panjang lalu wanita itu mengangkat wajahnya untuk menatap lurus ke depan dan ......
Mata mereka bertemu.
Elliot tidak pernah melupakan momen magis ini.
Lagu The Girl From Ipanema mengalun manis di ruang itu. Kehadiran Clara mengundang gemuruh perbincangan. Clara tetap berdiri di sana dan Elliot tetap duduk di tempatnya berada. Mata mereka tetapp terpaut satu sama lain. Elliot sendiri tidak tau apa yang harus ia lakukan sekarang. Terlalu terkejut untuk mencerna semua dengan baik. Namun hanya ada satu hal yang pasti.
Semesta memang menghadiahkan pertemuan ini bagi mereka.
-o-
0 komentar:
Posting Komentar