Pernahkah kamu memakan kue pasir?
Benar-benar pasir, bukan kue yang terbuat dari tepung atau pun bahan makanan, lalu kamu menamainya “kue pasir”. Bukan kue seperti itu
Kue pasir hanya dibuat dari butiran-butiran pasir yang dicetak dengan gelas bekas air mineral, diletakan di atas selembar daun pisang, dan ada hiasan-hiasan bunga liar berwarna putih di atasnya. Ya. Kue seperti itu. Apa kamu pernah memakannya?
Aku pernah.
Emh, sejujurnya tidak benar-benar memakannya. Itu hanyalah sebuah permainan sandiwara yang aku lakukan saat masih berumur 6 tahun.
Aku masih ingat saat itu jam pulang sekolah telah usai. Teman-temanku yang lain telah kembali pulang diiringi canda tawa yang mengisahkan bagaimana hari mereka kepada orangtuanya. Namun aku masih duduk sendirian di pinggir sebuah kotak pasir yang menjadi satu-satunya tempat bermain kesukaanku di taman kanak-kanak ini. Aku tidak melakukan apapun selain menunggu ayah atau ibuku datang untuk menjemputku.
Namun siang semakin terik dan aku masih di sana seorang diri. Perutku telah mendengkur beberapa kali, tapi tak ada seorang pun yang peduli akan keadaanku. Bahkan guru-guru pun tak lagi terlihat. Mungkin mereka luput memperhatikan atau mereka juga telah tak sabar ingin pulang dan berpura-pura tak melihatku.
Rasa lapar masih menemani diriku. Hingga tiba-tiba saja ada sebuah suara menegurku. Suara seorang anak laki-laki yang cukup aku kenali.
“Sloane, kamu belum pulang?”
Aku mengangkat wajahku dan menatap anak laki-laki itu. “Oh, Farren.”
Aku tak pernah melupakan Farren, sampai Sekarang. Aku mengenalnya karena kami berada di kelas yang sama saat di taman kanak-kanak; Farren satu-satunya anak yang selalu aktif dan ceria, berbeda sekali denganku yang pemalu dan tak begitu suka bicara.
“Orangtuamu belum menjemput?” Farren bertanya lagi, dan tanpa tendeng aling-aling langsung mengambil tempat duduk di sampingku.
“Belum, kamu juga?” jawabku dan balas bertanya.
“Iya. Mereka sepertinya terlalu sibuk mengurus kepindahan.”
Mendengar kata pindah mataku langsung mengerjap-ngerjap tidak percaya.
“Kamu mau pindah, Farren?”
Farren mengangguk mantap, “Orangtuaku pindah tugas ke luar kota. Kami akan berangkat besok.”
Aku terdiam. Ada secuil perasaan aneh bergumul di hatiku. Aku masih ingat bagaimana perasaanku saat mengetahui hal itu. Mungkin diumurku yang masih 6 tahun, aku tidak bisa menyadarinya dengan jelas, tapi setelah aku mulai beranjak dewasa dan memahami dunia ini dengan lebih spesifik, aku mulai menyadari kalau perasaanku waktu itu adalah perasaan kehilangan.
Errr… Errr… Errr…
Suara perutku yang kelaparan tiba-tiba saja terdengar lagi. Aku menyadari setangkup roti yang diberikan ibu untuk bekal di sekolah memang tidaklah cukup untuk memenuhi perut bongsorku kala itu.
“Kamu lapar, Sloane?” tanya Farren dengan dahinya yang berkerut-kerut lucu. Wajah putih bersihnya tertuju padaku, membuatku sedikit malu dan salah tingkah.
“Iya,” kataku malu-malu.
Farren langsung melepaskan tas ransel bergambar power ranger berwarna merah yang sangat terkenal di zaman kami dulu dari punggungnya, membukanya, dan mencari-cari sesuatu di dalam sana. Namun setelah beberapa saat mencari, aku menemukan wajah itu keruh dan menatapku sedih.
“Maafkan aku, sepertinya aku baru saja menghabiskan semua roti yang ibuku berikan kepadaku pagi tadi,” sesalnya.
Dengan cepat aku menggeleng-gelengkan kepalaku,” Tidak apa-apa. Aku juga tidak begitu lapar,” dustaku.
Farren menatapku lekat, sepertinya ia tahu kalau aku telah berdusta. Tapi kemudian, tanpa berucap sepatah kata pun ia berlari menuju sebuah tong sampah besar tak jauh dari tempat kami berada, mengais-ngais tempat itu hingga ia kembali lagi dengan gelas air mineral yang telah kosong.
Farren tersenyum sekilas padaku dan tanpa ba-bi-bu lagi ia langsung meloncat masuk ke dalam kotak pasir yang ada di belakangku.
Kulihat Farren memasukan pasir ke dalam gelas kosong air meneral itu dengan tangan kosong dan menekannya hingga benar-benar padat. Setelah selesai, Farren meloncat ke luar dan berlari menuju pohon pisang milik sekolah yang ada di sudut taman bermain ini untuk merobek daunnya.
Aku diam saja; bingung dengan apa yang sedang Farren lakukan. Hingga akhirnya aku melihat Farren meletakan lembar daun pisang itu tepat di hadapanku, kemudian mengambil gelas air mineral yang kini berisi padat dengan pasir di dalam kotak pasir, dan…
Puk!
Farren menangkupkan gelas air mineral itu di atas daun pisang yang ia letakan di hadapanku, kemudian berlahan-lahan menarik gelas air mineral itu agar terlepas dari pasir yang ia cetak.
“Oh! Ada yang kurang.” Farren buru-buru mencabuti bunga-bunga liar yang tumbuh di sekeliling kaki kami, lalu menaburkannya di atas pasir yang telah tercetak di hadapanku.
“Aku tahu ini gak bisa di makan,” kata Farren kemudian, ”tapi pura-pura saja ya? Biar kamu lupa kalau kamu lagi lapar, hehehe…” Farren menatapku dengan mata sipitnya yang melengkung seperti bulan sabit dan tersenyum sangat lebar padaku.
Dan aku percaya kalau cinta menyapaku untuk pertama kalinya saat aku mulai memakan (berpura-pura memakan) kue pasir itu.
***
Namun keadaan telah berubah dengan sangat cepat. Sekarang aku hanyalah seorang wanita berumur 28 tahun yang masih melajang. Aku sudah bekerja; aku penulis.
“Makasih ya, Pak,” kataku pada supir taksi yang membawaku tepat di depan sebuah taman kanak-kanak – yang kini terlihat lebih besar daripada terakhir kali aku melihatnya – seraya menyerahkan ongkos jasanya.
Setelah keluar dari taksi, aku langsung berlari menuju gerbang taman kanak-kanak yang tidak terkunci dan masuk ke dalam.
Kupandangi sekeliling dan menduga-duga apa yang akan aku lakukan Sekarang. Emh, sepertinya aku akan mencari tempat untuk menulis.
Aku mulai mengitari taman kanak-kanak ini untuk mencari tempat, namun gerakanku berhenti tatkala mataku menemukan seorang anak laki-laki sedang duduk sendirian di depan kotak pasir yang masih kuingat dengan jelas kalau itu kotak pasir yang sama yang menjadi tempat kesukaanku dulu. Dé javu menyergapku, rasanya aku pernah berada di posisi anak laki-laki itu.
Tanpa berpikir panjang aku melangkahkan kakiku mendekati anak laki-laki itu dan menyapanya.
“Orangtua kamu belum menjemput ya?”
Anak laki-laki itu langsung mengangkat wajahnya dan menatapku lekat. Kaget dengan kehadiranku yang tiba-tiba.
“Iya, Tante.”
Er, oke… Seandainya aku bisa menjerit dan membentak anak laki-laki ini untuk tidak memanggilku “tante”.
“Mau Tante temani?” akhirnya aku menyebutkan diriku sendiri dengan sebutan ‘tante’ karena tidak tahu harus menyebut diriku sendiri apa. Hah… umurku memang tak lagi pantas dipanggil ‘kakak’.
“Tante bukan orang jahat ‘kan?” tanya anak laki-laki itu, “Ayah bilang Keanu gak boleh ngomong sama orang jahat.”
Aku tertawa kecil, “Bukan, Tante bukan orang jahat. Percaya sama Tante.”
Anak laki-laki bernama Keanu itu tersenyum dan memandangku dengan kedua mata sipitnya yang melengkung, ”Terima kasih, Tante.”
Errr… Errr… Errr…
Suara perut yang keroncongan. Dengan cepat aku menoleh ke arah Keanu, kemudian bertanya apa itu bunyi suara perutnya, dan anak laki-laki itu mengiyakannya.
Buru-buru aku membuka tas ransel bergundi di punggungku dan mencari-cari apa aku memiliki sesuatu untuk dimakan di sana. Tapi ternyata tidak ada, di dalam sana hanya ada leptop, dompet, dan telepon genggamku.
“Maafkan Tante, sepertinya Tante tidak punya makanan untukmu,” sesalku.
“Tidak apa, Tente. Lagipula Keanu juga gak begitu lapar,” dusta Keanu. Aku tahu dia berbohong karena aku bisa dengan jelas satu tangannya menekan perutnya yang kelaparan.
Aku langsung bingung dengan apa yang harus aku lakukan Sekarang, kedua mataku yang bulat menelirik kesana-kemari untuk mencari sesuatu yang bisa aku lakukan, hingga tiba-tiba saja aku teringat akan kue pasir buatan cinta pertamaku dulu. Mungkin aku bisa membuatnya untuk Keanu?
Tak banyak berpikir lagi aku langsung mencari-cari bahan yang aku perlukan: gelas air mineral kosong, daun pisang, dan bunga-bunga liar yang tumbuh di sekitar kami.
Setelah aku mendapatkan semua bahan-bahan itu aku langsung meloncat masuk ke dalam kotak pasir di belakang Keanu dan dengan tangan kosong aku memasukan bertumpuk-tumpuk pasir ke dalam gelas air mineral kosong itu dan memadatkannya.
“Tante sedang membuat apa?” tanya Keanu padaku.
“Kue,”jawabku.
“Kue?” Keanu mengulang jawabanku dengan nada tanya.
“Kue pasir.” Mendengar jawabanku, Keanu bungkam. Entah apa yang ia pikirkan; aku tidak tahu.
Puk!
Aku menangkupkan gelas air mineral yang berisi penuh dengan pasir itu tepat di atas daun pisang yang aku letakan di hadapan Keanu, dan berlahan-lahan menarik gelasnya agar terlepas dari kue pasir yang aku cetak. Kemudian aku remuk-remukan kelopak bunga liar yang aku dapatkan tadi dan aku taburkan di atas pasir yang tercetak seperti gelas air meneral itu.
“Tante tahu kalau ini gak bisa dimakan, jadi pura-pura saja ya. Biar kamu lupa kalau kamu lagi lapar.” Aku mengutip ucapan Farren yang masih terpatri jelas di ingatanku. Keanu terkekeh.
“Tante lucu ya? Mirip kayak ayah Keanu,” kata Keanu seraya menggerakan tangannya seperti sedang memakan kue pasir di hadapannya.
“Ayahmu kenapa?” tanyaku.
“Ayah Keanu juga sering bikin kue pasir kayak gini di rumah,” jawab Keanu, “sampai-sampai ayah bikin kotak pasir besar di halaman belakang.”
“Oh ya?” sahutku diplomatis.
“Ayah Keanu bilang kalau dulu dia pernah bikin kue pasir untuk cinta pertamanya.” Sejurus kemudian aku terkesikap, ada sesuatu yang ganjal dari perkataan Keanu yang entah mengapa membuatku takut. “Kue pasir yang sama persis dengan yang Tante bikin Sekarang.”
“Be-benarkah?” suaraku terbata, tiba-tiba saja ada banyak hal yang ingin aku tanyakan tentang ayah Keanu. “Kalau boleh tahu, ayah Keanu pernah bilang gak siapa cinta pertamanya?”
“Emh…,” Keanu bergumam sambil melipat kedua tangannya di depan dada dan memiringkan kepala, “kalau tidak salah cinta pertama ayah itu temannya saat masih TK!”
Deg!
Mungkinkah… itu Farren?
“Tapi Tante jangan bilang siapa-siapa ya soal ini,” kata Keanu lagi dengan nada suara mengancam, “Ayah bilang jangan kasih tahu ini sama siapa-siapa, apalagi bunda. Ayah takut kalau bunda akan marah kalau tahu ayah masih suka mengenang cinta pertamanya. Hahaha.”
Aku melihat Keanu tertawa, begitu senang menceritakan bagaimana keadaan keluarganya yang terdengar bahagia. Tapi alih-alih ikut merasa bahagia, dadaku terasa sakit. Jika benar kalau ayah Keanu adalah Farren maka…
“Keanu! Keanu! Kamu di mana?”
Sebuah suara bariton terdengar memanggil-manggil Keanu, secara reflek anak laki-laki itu pun bangkit berdiri, disusul aku yang juga ikut berdiri di sampingnya.
“Ayah! Aku di sini!” Keanu berseru sambil melambai-lambaikan tangannya ke atas. Dan dadaku berdebar sangat kencang menunggu detik-detik sosok yang akan muncul di balik pintu gerbang itu dan…
Astaga! Itu memang Farren!
Aku tak mungkin salah mengenalinya. Kulit putih itu masih terlihat sama meskipun 22 tahun telah berlalu, yang berbeda hanyalah wajahnya, wajah itu kini telah dipenuhi raut ketegasan dan sedikit kerutan yang menandakan tahun-tahun yang telah terlewati di hidupnya. Tubuh itu pun terlihat begitu kokoh, aku bisa memastikan kalau lengan Farren memiliki otot begitu pula perutnya. Dan hal itu membuatku penasaran apa yang ia telah lakukan selama ini.
Bisa aku rasakan dadaku berdetak nyaring di setiap langkah yang pria itu ambil untuk mendekatiku – sebenarnya anaknya; Keanu – dan saat ia sudah berada di hadapanku. Hatiku mencelus saat tahu mata sipit yang diam-diam aku rindukan itu masih menunjukan keramahan dan perhatian.
“Maaf, Ayah terlambat,” kata Farren dengan nafas yang tidak beraturan.
“Gak papa, Yah, Keanu ditemani Tante ini kok.”
Aku kaget dan langsung salah tingkah ketika Farren mengalihkan perhatiannya padaku, dan tersenyum. “Terima kasih sudah menjaga anak saya,” katanya sambil mengangguk ramah. Aku balas tersenyum kaku.
“Sa-sama-sama,” sahutku gugup. Aku sempat yakin kalau Farren akan menyadari siapa aku sebenarnya saat ia melihat wajahku, namun harapanku sirna tatkala kulihat mata itu hanya menatapku dengan asing; keramahan yang asing.
“Kalau begitu, kami pamit ya.” Farren mengakhiri pembicaraan kami tanpa sedikit pun menyinggung siapa aku – atau paling tidak bertanya siapa namaku – dan berbalik untuk pergi. Seketika itu juga hatiku hancur; tak rela jika pertemuan ini hanya berakhir seperti ini saja. Bagaimana pun juga… aku masih mencintainya.
“Emh, tung – …” kalimatku terputus, logika tiba-tiba saja menghentakan naluriku yang ingin mengungkapkan pada Farren kalau aku adalah Sekar. Logika menyadarkanku kalau kenyataan memang pahit… Farren sudah berkeluarga.
“Ada apa?” Farren kembali berbalik dan aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalaku.
“Tidak apa, emh… hati-hati di jalan,” kataku lemah, hanya itu yang mampu aku katakan.
Farren melebarkan senyumnya dan mengangguk ramah. “Terima kasih… Selamat tinggal.”
Farren dan Keanu berbalik, melangkah pergi dengan girang, dan tepat saat kedua sosok itu menghilang di balik pintu gerbang taman kanak-kanak ini… aku ambruk ke tanah. Kutuntaskan tangis yang tanpa disadar telah tertahan semenjak tadi dan meraung dalam hati tentang kesia-siaan penantianku.
Ya, Farren… selamat tinggal.
0 komentar:
Posting Komentar