Yogyakarta, 2 Juni 2021
Pak, aku bertemu dengan seorang Pria. Mungkin Bapak sudah mengenalnya dulu, kalau aku tidak salah ingat. Waktu itu Bapak sering bertemu dengannya ketika menjemputku atau mengantarku bimbingan belajar. Ketika itu, Bapak hanya tersenyum saat disapanya.
Beberapa tahun berlalu, kami bertemu kembali dan mengukir kasih. Aku pikir Bapak akan suka padanya. Lagian dia juga bukan orang baru, kan Pak?
Aku selalu bercerita Una tentang Pria itu, tentang hari-hari kami, tentang kelelahan dan kekurangannya. Tentang mimpi kita besok di masa depan.
Waktu itu Pria itu berkunjung ke rumah, dan Bapak tetap tersenyum ramah padanya. Sayangnya, aku tau Bapak dan Una tidak terlalu suka padanya. Kalian hanya menghormati pilihanku, karena bagi kalian, aku sudah cukup dewasa untuk tau mana yang baik untukku.
Bapakku sayang, sudah berapa ratus kali aku meyakinkan Bapak bahwa ia yang terbaik untukku?
Saat itu, Bapak hanya mengiyakan lantas mengusap kepalaku, dan berkata, "Bapak terserah kamu. Kan yang bakal hidup sama dia kamu." Ucapan yang baik Pak. Walau aku tau, Bapak menyimpan ketidakcocokan pada pria itu. Misalnya dengan cara berpakaiannya, atau sikapnya bertamu, atau beberapa hal yang bagi Bapak seakan tidak menghargai.
Percayalah, Pak. Dia sudah berusaha untuk menjadi lebih baik. Menjadi apa yang Bapak inginkan dari seseorang yang nantinya Bapak percaya.
Bapak yang selalu panik dengan air mataku.
Bapak ingat terakhir kali dia ke rumah? Iya, yang Bapak kritik kurang sopan karena hanya bercelana pendek seperti pakaian tidur. Iya, yang Bapak berceramah tentang aturan bertamu. Aku hanya terdiam ya Pak saat itu.
Kenapa? Karena siang itu ia mengakhiri hubungan kami.
Aku tidak menimpali apapun, karena aku takut air mataku tumpah di samping Bapak. Aku takut Bapak sedih, karena bahkan saat itu Bapak tidak pernah membuatku menangis. Ironis ya Pak?
Aku menangis dalam hati, dan itu menyedihkan. Aku menangis di balik senyum, dan itu mengerikan. Kita tertawa terbahak-bahak sementara diam-diam pikiranku memutar apa yang ia katakan, dan aku harus menahan rasa sakit di tenggorokan karena menahan tangis.
Bapak yang selalu membahagiakanku.
Mungkin aku yang salah berpegangan pada keyakinan bodohku sendiri, sementara di waktu yang sama Bapak sudah menyimpulkan hal lain. Aku yang membiarkan hubungan ini lama-lama, berharap dia bisa membuktikan bahwa ia adalah yang terpilih, padahal aku tau dia pun tidak yakin.
Ya, Bapak. Pria itu sendiri tidak yakin padaku, sementara aku sudah membayangkan hal-hal bersamanya. Jahat? Tidak Pak. Pria itu tetap Pria yang baik. Bahkan jika Bapak bertanya pendapatku tentang Pria itu hari ini, Pria itu tetaplah Pria yang terbaik, terlepas dari apa yang telah kami lalui. Ia hanya sadar bahwa aku bukan perempuan yang baik, setidaknya untuknya dan masa depannya.
Bapak yang berhati besar.
Semoga Bapak suatu hari nanti dapat memaafkannya untuk segala yang tidak cocok dengan apa yang Bapak inginkan. Tidak ada manusia yang tanpa cacat, meskipun itu aku, Bapak, dan juga Pria itu.
Percayalah, Pak. Suatu hari pun, aku aka bertemu Pria yang punya keberanian untuk menjawab semua harapan dan kepercayaanmu. Yang membuatmu yakin bahwa ia sanggup menjagaku. Yang membuat Bapak tau, tidak akan ada air mata yang jatuh dari anak perempuan semata wayangmu.
Kecup sayang,
Anak perempuanmu yang bahagia♡
0 komentar:
Posting Komentar