Yogyakarta 10 Oktober 2018
Aku
bisa saja berpura-pura tidak melihatmu, mengalihkan pandangan dan
berjalan memunggungimu. Tidak perlu saling menyapa, tidak perlu melihat
senyummu yang selalu kusukai itu, dan tidak perlu menenangkan hatiku
yang sering menenang-nendang hanya karena mataku menganggapmu masih
tampan seperti dulu. Masalahnya, hal itu tetap tidak bisa menutupi kalau
sebenarnya aku rindu.
Aku
melakukan itu sebenarnya bukan untuk menjauhi. Karena aku masih tetap
di sini, berusaha sebaik mungkin menjaga senyumanmu setiap pagi. Hanya
hatiku yang pergi. Sudah waktunya dia menemukan kebahagiaannya sendiri
setelah hatimu juga mulai ada yang mengisi.
Aku
bisa saja juga mengatakan kepada semua orang bahwa aku tidak memiliki
perasaan apa pun kepadamu. Iya, semudah orang-orang marketing yang
menawarkan untuk membeli barang dagangan mereka, entah kemudian ada yang
memilih membeli atau meski kebanyakan tidak. Ya, seperti itu. Tapi
tetap tidak bisa mengubah kenyataan bahwa aku sering sembunyi-sembunyi
memperhatikanmu. Mengamati dengan detail apa rambutmu sudah lebih
panjang sekarang, apa kamu masih mengeluh tentang perut membuncitmu, apa
kamu sehat, dan hal-hal lain seperti itu. Lihat? Aku itu sebenarnya
pelupa, tapi tidak pernah mudah melupakanmu.
Dan
kemudian, kalau pun aku sudah mulai nyaris lupa bisa saja ketika
mengunjungi kafe atau toko buku, tiba-tiba saja mereka memutar lagu yang
selalu kita nyanyikan berdua. Ah, Tuhan pasti sedang bercanda.
Tapi sungguh, aku benar-benar ingin lupa. Lupa seperti lupanya orang amnesia. Dan sebenarnya aku berusaha keras untuk itu.
Dan
di masa aku benar-benar ingin lupa itu, ada kamu di depanku adalah
halusinasi terbaikku. Mungkin rindu itu bisa menggagalkan lupa, sampai
dia bisa mendatangkanmu di depanku meski aku sedang berusaha amnesia.
Nah, jadi kalau saja ada momen-momen tertentu di mana telingamu
mendengar beberapa bebunyian, barangkali itulah momen dimana aku sedang
berada pada halusinasi terbaikku, membayangkanmu.
Tapi kemudian aku menyadari sesuatu, kita, tidak mungkin melupakan seseorang. Kita punya memori. Tidak seperti memori flashdisk
yang bisa diformat, sayangnya memori kita tidak memiliki kemampuan itu.
Pada suatu ketika, meskipun kita sudah mengira kalau kita lupa, ketika
kita bertemu dengannya lagi, kita akan menyadari, ternyata kita masih
belum lupa tentangnya. Ya, aku menyadarinya setelah kadang-kadang aku
mengingatmu tanpa sengaja.
Yang
paling penting ternyata bukan lupa, tapi melepaskan. Dengan melepaskan
kita tidak perlu melupakan. Sama seperti anak kecil yang balonnya lepas
ke udara. Dia akan menangis sebentar. Menangisi balon berharganya yang
lepas. Tapi cepat atau lambat balo itu tidak diingat seterusnya karena
tertumpuk memori-memori tentang mainan, makanan, atau mungkin tentang
fil-film yang ditontonnya. Ya, seperti itu.
Jadi
aku akan melepaskanmu. Pelan-pelan aku berhenti mencari tau tentangmu.
Pelan-pelan aku akan menikmati apa yang ada di depanku, orang-orangnya,
tawanya, kebersamaannya, semuanya. Seperti itu. Dan pada suatu ketika
juga, meski aku bertemu denganmu lagi nanti, ketika itu mungkin aku
sudah tidak mencintaimu seperti dulu. Seperti balon yang terbang ke
udara itu. Tapi nanti. Nanti ya.
Bisa
jadi, dalam jeda momen-momen itu aku akan ingat sesuatu, seperti
saat-saat paling melelahkanku dulu ketika aku menarik napas panjang,
berusaha mengumpulkan kekuatanku untuk menyapamu. Lalu gagal. Lucu
sekali bagaimana keangkuhanku berubah menjadi kepengecutan ketika bahkan
sekadar untuk menyapamu saja nyaliku seciut kutu.
Atau
aku pernah berpikir bahwa bahagia itu sesedrhana kamu. Tidak perlu
kalimat indah yang perlu dilanjutkan di sana untuk menjelaskan itu.
Dulu. Dulu saat itu.
Ya,
seperti yang ku katakan tadi. Tidak mungkin lupa. Tapi kalau sudah
melepaskan, mengingat pun sudah tidak lagi bermasalah karena kita sudah
hidup di masa kini. Rindu, tapi tidak ingin kembali. Karena kita sudah
berbahagia di posisi kita sekarang ini. Karena kita adalah kita
sekarang, dengan kebahagiaan kita sekarang, bersama orang-orang yang
mencintai kita sekarang. Bukan tentang masa lalu lagi. Karena di masa
lalu tidak pernah ada masa depan.
Ya.
Suari hari pasti seperti itu, nanti. Ak akan mengingatmu kadang-kadang,
tanpa sengaja. Tapi hanya sebagai 'pernah', bukan sebagai 'sekarang'
apalagi 'selamanya.
Tapi
mungkin aku akan punya pertanyaan sederhana kepada dia (siapa pun itu)
yang bersamamu nanti itu, "Kamu, yang bisa selalu berada di dekatnya
sesering itu, bagaimana rasanya?"
Pertanyaan
itu, bisa jadi jawabanya selalu aku ingin tau. Meskipun mungkin, itu
hanya pertanyaan yang akan terus hanya kubatin. Selamanya mungkin.
0 komentar:
Posting Komentar