Yogyakarta, 11 Juli 2018
Hai,
Dulu, kamu selalu menemani ceritaku. Bahkan ketika kamu sedang mengantuk, kamu sedang lelah, kamu akan membuat kopi agar bisa menemaniku begadang meski hanya melalui telepon. Padahal, apa yang kuceritakan sering kali tidaklah penting dan aku ulang-ulang. Aku hanya tidak bisa tidur dan ingin ada orang yang menemaniku. Tetapi kamu, seseorang yang sebenarnya tidak suka begadang, selalu bersedia menjadi orang itu, yang (terpaksa) mau begadang menemani aku.
Dulu, kamu selalu datang kapan pun aku membutuhkanmu. Aku tidak tau kamu memiliki kekuatan apa. Karena apa pun masalahku, ketika melihatmu datang, aku selalu merasa lega. Ya, walaupun kamu belum berkata apa pun, melihatmu saja aku sudah merasa lega. Kamu juga rela mendengar ceritaku tentang dia. Seseorang yang membuatku tergila-gila sekaligus terluka pada waktu yang sama. Kamu kemudian akan menyediakan bahumu untuk kepalaku bersandar, menghapus air mataku pelan dan mulai mengeluarkan jurus andalanmu untuk memunculkan tawaku, lelucon garingmu. Yang membuatku tertawa bukan kelucuannya. Tapi karena begitu berusahanya kamu menceritakan hal yang lucu, dengan muka datar karena kamu memang tak panda merangkai kata. Itu garing. Tapi aku menyukainya.
Sekarang juga kamu masih seperti itu, menyediakan bahumu. Tapi, bahumu berbeda, dingin, tidak sehangat dulu ketika masih mencintaiku. Tidak sehangat dulu ketika kamu masih bersedia menungguku meski aku tergila-gila pada lelaki yang sudah berkali-kali menyakitiku.
Sekarang, terlanjur kamu yang menganggap teman biasa karena sudah ada seseorang di sampingmu dan itu bukan aku. Kamu sudah melepaskan, yang akhirnya kamu malah mendapatkan. Dan aku perhatikan, gadis itu malah jauh lebih menarik dan menyenangkan daripada aku. Kamu beruntung, gadia itu juga sangat beruntung.
Dulu, kamu pernah mencintaiku seperti kamu mencintai gadis itu. Salahku, aku yang tidak peduli, tidak peka, dan melakukan kebodohan dengan memuja seseorang yang sebenarnya memiliki ego terlalu besar untuk memikirkan bahagiaku. Sementara ada kamu, yang selalu memikirkan bahagiaku, tertutup keberadaannya karena aku hanya memperhatikan dia saja.
Pasti sekarang gadis yang bersamamu itu, sedang sangat bahagia. Karena kamu selalu ada untuknya, dan selalu menjaga bahagianya, selalu menjaga senyumnya.
Aku masih ingat, tadi malam kamu bilang, "Bahuku malam ini masih boleh untuk tempat bersandar kepalamu. Tapi lain kali sudah tidak lagi. Ada hati seseorang yang harus kujaga. Kedekatan dua orang, tidak harus dilambangkan dengan sentuhan badan. Memang tidak akan terjadi apa-apa, tapi kika itu bisa melukai pasangannya, kenapa harus dilakukan? Jadi, lain kali mungkin tidak akan ada bahuku lagi. Tapi aku masih bisa menemanimu bercerita. Meski waktuku tidak lagi bebas seperti dulu. Tenang saja aku masih akan tetap mendengar ceritamu."
Kamu tersenyum. Aku terdiam. Lalu menyandarkan kepalaku ke bahumu seperti dulu. Menikmati saat terakhir aku bisa seperti ini. Saat itu adalah saat pertama kali kita terdiam dalam waktu yag lama ketika sedang berdua.
Seperti apa yang aku bilang tadi, bahumu masih tersedia untukku. Setidaknya sampai malam tadi. Tapi aku tidak pernah tau kalau bahumu bisa sedingin itu. Andai saja aku tidak tergila-gila pada lelaki itu, bahumu pasti masih hangat seperti dulu.
Andai saja.
0 komentar:
Posting Komentar