Yogyakarta, 1 September 2021
Belakangan kata-kataku menjadi tumpul karena jarang sekali kuasah. Mungkin masalahnya bukan pada waktu yang tidak pernah cukup meyediakan kesempatan, melainkan jari dan otakku sekarang tidak lagi sinkron seperti senja abu-abu di hadapanku.
Rasanya aku sudah melupakan momen ini ーduduk sendirian di pojok pendopo kampus, ditemani laptop tuaku dan rindu yang menggebu-gebu padamu. Dulu, semua terasa tepat. Rindu dan cinta itu datang silih berganti seperti pelangi yang menanti hujan reda. Tidak pernah ada masalah yang tercipta, meski jarak dua benua bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh bagi kebanyakan orang. Namun, aku yakin, suaramu yang masih menggema di hatiku setiap malam sudah cukup untuk membuktikan bahwa semua baik-baik saja.
Entah angin muson mana yang mengajarkanmu bahwa pergantian musim menandakan ada hati yang beralih haluan.
Aku tidak pernah membayangkan, bahkan hanya sekedar mimpi, kehilangan kontak denganmu. Media sosial bukan ladang bagi gadis desa sepertiku untuk mendapat kabar saat itu aku hanya megerti bagaimana surel dan video call bekerja. Dan ketika semua sarana penghubungku dan dirimu terputus, satu-satunya hal yang bisa aku lakukan hanyalah menunggu. Berminggu-minggu aku bertanya-tanya apa yang terjadi denganmu dan hubungan kita yang sepertinya mati suri. Terakhir kali kudengar suaramu, kamu bilang paper dan laporan menghalangi kontak denganku. Aku percaya itu dan terus percaya bahwa itulah satu-satunya alasanmu untuk berhenti menghubungiku, hingga seseorang menunjukkan foto itu padaku dan meleburkan segalanya.
Hah--
Tidak kusangka, dunia maya teryata begitu menakjubkan. Aku menduga-duga, mungkin ini alasan kenapa aku selalu menjadi mahasiswi paling tertinggal di atara yang lainnya, karena seandainya saja aku mampu membeli smartphone dan membuat akun media sosial bernama Instagram itu, aku seharusnya sudah tau sejak beberapa bulan yang lalu kalau kamu telah mencintai perempuan lain.
Jadi, rasanya tidak akan sakit.
Aku tidak tau apa aku harus meminta maaf karena tidak pernah peka dengan kabar-kabarmu yang semakin jarang itu ataukah kamu yang terlalu jumawa untuk menyuarakan kata selesai. Tapi, mengirimimu surel berisikan kata-kata perpisahan serta menyatakan bahwa aku telah mengetahui kenyataan tentangmu, tentu merupakan keputusan yang tepat untuk menuntaskan drama klasik di antara kita.
Kuakui, tangisku di ujung malam ketika kenangan menghantam benakku seperti air bah yang tidak akan surut sampai fajar menjelang. Kamu lelaki yang begitu manis. Menata hati untuk mencintaimu tentu tidak mudah dengan segala kekurangan yang aku miliki, tapi kata-katamu selalu berhasil mengusir berjuta-juta skenario terburuk yang melintas di benakku. Hingga akhirnya kusadari bahwa selama ini aku hanya menjadi salah satu momen dari kisah hidupmu yang panjang.
Ah, satu halaman sudah selesai, catatan ini sepertinya akan berakhir tragis. Sungguh, sudah lama aku tidak menulis catatan seperti ini, mungkin sejak aku berhenti mencari-cari alasan untuk menulisnya karena kamu tidak lagi di sana dan memberiku komentar-komentar manis tentang alur ceritanya. Aku tau, semua catatan yang kubuat hanya akan berakhir di blog yang tidak terkenal itu lalu menjadi debu. Tapi memilikimu yang setia membaca meski banyak lubang di antara katanya memberiku kekuatan sendiri ーseperti cahaya yang bersinar diujung jalan yang gelap; bukan komentaar manismu yang sesungguhnya aku inginkan, melainkan eksistensimu. Lalu ketika semua berakhir dan tidak ada kata-kata lagi yang tertukar di antara kita untuk memperbaiki keadaan aku tidak lagi sanggup menulis kisah-kisah ini karena semua terasa hambar.
Sungguh, luka itu masih ada hingga sekarang. Rasanya masih sakit seperti saat terakhir aku mengingatnya. Namun, itu sudah lama sekali, aku bahkan sudah lupa rasanya air mata yang menetes di pipiku ketika wajahmu terlintas di benak. Mungkin itu juga salah satu alasan mengapa aku kembali menulis ini. Tentu aku merindukan bahagia yang pernah kita miliki dulu serta janji-janji yang kini tidak akan pernah tergenapi; masih ada secangkir rindu yang tersisa untukmu.
Hanya saja, rindu itu tak lagi kusesap pahitnya, karena senja kelabu, hujan yang mengguyur, hati yang patah, serta semestaku yang sebelumnya kugantungkan pada hubungan kita yang rapuh telah diperbaiki oleh orang lain.
Ya, oleh laki-laki yang baru saja tersenyum saat melihatku duduk dan menulis sendiri di sini, yang senyumnya duduk dan menulis sendiri di sini, yang senyumnya kubalas dengan kekehan kecil karena mendapati dirinya yang kuyup diguyur hujan yang mendatangiku dengan aroma pertichor di pakaiannya yang mengecup dahiku lembut dan membisikan maaf karena cuaca menahan geraknya yang akhirnya duduk di hadapanku dan menemaniku menulis di sana. Ya, laki-laki itu, yang kini padanyalah aku menggantungkan seluruh jagad raya hidupku.
Akhirnya, cerita ini berubah manis. Aku kira pahitnya kenangan dirimu akan mempengaruhi alur yang sederhana ini. Tapi, kehadirannya membayarkan segala keresahan yang masih mengganjal di dada akan kita dan semua kenangannya. Mata almonnya yang bersinar saat mengisahkan kesehariannya mengisi ruang pendengarankuーyang biasanya aku tidak begitu paham. Tapi kehadirannya saja sudah cukup untuk membuat perasaan pahit itu hilang dan larut bersama hujan.
Mengenalnya dan mencintainya tidak sama seperti saat aku bersama kamu. Ia tidak menghilangkan rasa khawatir di dadaku, karena ia bahkan tidak menciptakan rasa khawatir itu. Ia tidak mampu menjelajah dunia, karena bahkan untuk di kota ini saja ia mengorbankan segalanya. Ia tidak menjanjikanku masa depan yang lebih baik, karena ia bahkan sedang memperjuangkan masa depannya sendiri sekarang. Iya, dia tidak lebih baik darimu, karena satu-satunya hal terbaik yang dia miliki adalah dirinya sendiri.
Iya, aku tau, sudah lama aku tidak menulis kisah seperti iin. Mungkin kata-kataku kali ini terasa kaku dan hambar. Tapi, ada satu hal yang kuyakini pasti.
Bahagia akan menamatkan kisah ini.
0 komentar:
Posting Komentar