Yogyakarta, 21 Desember 2020
Musim penghujan sepertinya masih ingin menetap. Katanya, masih bulan depan puncaknya musim penghujan, dan ketika aku mengetahui hal itu, hatiku bingung antara senang dan sedih. Senang karena aku memang sangat menyukai hujan. Sedih karena dinginnya.
Aku benci dingin.
Aku lebih memilih bermain dengan sinar matahari ketimbang membeku di dalam lemari es. Namun mausia selalu penuh dengan kontradiksi, aku memang membenci dingin, tapi aku suka hujan. Dalam hatiku hujan selalu membawa berkah tersendiri ーkecuali dingin yang menggigil, tentu sajaー bahwa Tuhan tengah mematikan api di bumi.
Kalimantan, setiap tahunnya selalu diliputi asap tebal akibat kebakaran hutan. Musim kemarau begitu menyengsarakan di sana, menurut cerita dari beberapa temanku. Katanya begitu menyiksa, sekolah-sekolah libur, jalanan yang penuh dengan asap, dan tidak bisa bernafas dengan baik. Kondisi seperti itu berlangsung berbulan-bulan dan ketika bulan-bulan berakhiran "Ber" datang membawa hawa hujan, dia bercerita bahwa dia selalu berdoa pada Tuhan agar hujan itu berlangsung seminggu penuh.
Temanku berkata, tidak apa-apa mati kedinginan asal hujan datang dan menyapu semua api di bumi Borneo. Lalu hujan benar-benar turun dan katanya dia benar-benar bahagia sampai hujan itu berhenti.
Begitu juga dengan aku, euforia seperti itu juga kurasakan. Kadang, ketika hujan turun dengan derasnya dan aku tengah berkendara di jalan yang sepi, tanpa malu aku akan tertawa dan berteriak untuk menyaingi suara petir yang bergemuruh. Aku juga sangat menyukai aroma hujan;petrichor. Aromanya aneh, tapi begitu cocok dengan jendela di kamarku hingga membentuk kombinasi magisnya sendiri.
Biasanya, ketika hujan turun dan aku terjebak di kampus, aku memilih untuk menikmati suara dan aroma hujan ini di pendopo kampus. Aku biasa melakukannya sendiri atau mungkin berdua dengan seorang sahabatku. Kami akan mengobrol berdua sampai senja menyingsing dan malam pun datang atau sampai kami terlalu lelah mengobrol, tidurpun menjadi pilihan yang baikーnyanyian hujan begitu meninabobokan, kataku dalam hati, setiap kantuk menyerang.
Dan hari ini ketika hujan turun rintik-rintik, aku mengira-ngira apa hujan juga sedang turun di tempatmu?
Bagaimana perasaanmu pada hujan? Apa kamu menyukainya sama seperti aku? Aku belum tau sampai nanti kita bertemu. Namun, untuk sekarang bolehkah aku berhayal tentang kita saat turun hujan?
Aku ingin saat hujan turun, di Sabtu sore saat kita terlalu malas untuk melakukan sesuatu selain bermalas-malasan. Aku membayangkan kita sedang duduk di atas kasurーaku bersandar di dinding dan kamu tiduran dengan berbantal kakiku. Jemariku bermain dihela rambutmu. Benturan hujan di kaca jendela mengisi suara di antara kita. Kamu memejamkan mata, menghembuskan napas hangat, sementara aku terkekeh geli. Selebihnya, kita tak mengatakan apapun, cukup detak jantung yang memburu di rongga dada yang mengungkapkan segalanya. Dan begitu saja.
Semua terasa tepat.
Ah....
Salahkan saja hujan, hujan membuatku senang sekaligus melankolis. Hayalan itu mungkin terbaca konyol, dan kamu mungkin akan tertawa karenanya, namun itu hanyalah segelintir momen kecil yang membuatku merasa begitu bahagia dan dicintai. Kuharap kita akan melakukannya suatu hari nanti dengan perasaan yang sama seperti saat aku menghayalkannya.
☺️
Diiringi hujan yang mencium bumi, sampai jumpa di musim hujan selanjutnya. Aku harap hujan terus turun, Tuan, sama dengan rangkaian kata yang akan terus aku curahkan pada sosokmu di masa depan.
Dari gadis yang menyukai hujan, tapi membenci dinginnya.
0 komentar:
Posting Komentar