Yogyakarta, 18 Februari 2019
Kadang aku merasa bahwa aku sedang bermimpi ketika melihat dia terlelap di sini. Lalu aku akan menikmati waktutku dengan memperhatikan setiap detail mukanya saat dia sedang tidur. Jangan tanya kenapa, karena aku bahagia melakukannya. Itu saja.
Kalau ada yang bertemu dengan dia, dia akan selalu bilang kalau dia beruntung mendapatkanku. Aku bilang, aku yang beruntung. Aku tau itu.
Dan kalau ada yang bertanya apakah aku sebahagia ini karena dia adalah seseorang yang selalu aku impikan? Aku akan menjawab tidak. Sama sekali tidak. Dia sangat jauh dari tipe yang selalu aku bicarakan kepada semua orang tentang spserti apa seseorang yang kusuka. Jangan salah, dia tidak buruk rupa atau apalah itu. Dia tetap menarik dan mengagumkan. Hanya saja, bukan seperti dia yang selalu aku bayangkan untuk bersama. Masih banyak kekurangan.
Tapi, meski dia bukan mimpiku, dia adalah kenyataanku, yang sekarang sedang aku lihat muka polosnya saat tertidur. Dan kenyataan selalu lebih berarti daripada impian yang tidak terjadi, bukan?
Dia datang entah dari mana munculnya dan entah kebetulan atau tidak, waktunya tepat pada saat aku terluka. Mungkin ini konspirasi semesta yang seperti kata Rhonda Byrne, "Semesta akan menjawab apa yang kita minta." Dalam bahasaku, Tuhan akan menjawab apa yang dibutuhkan oleh kita, meski kita tak pernah mengucapkannya dalam doa. Jadi, mungkin karena itu dia datang tepat pada saat aku terluka.
Aku kehilangan seseorang yang saat itu aku cintai. Jika ada yang pernah mengalami setiap malam menangisi sebuah kehilangan sampai susah bernapas, ya, aku hampir seperti itu. Dulu. Setiap malam. Aku terlalu jatuh cinta untuk melepaskan. Terlalu buta untuk menyadari bahwa aku sedang meratapi seseorang yang mungkin saja langsung melupakanku pada saat itu. Jadim pada akhirnya aku menyiksa diriku sendiri setiap hari tanpa aku sadari dengan meratapi seseorang yang memang sudah merencanakan untuk pergi.
Kemudian dia datang dan menuntunku. Dia menunjukkan jalan, bahwa bahagia tidak hanya berada di tempat yang kita suka. Kita tidak pernah tau ada bahagia di tempat lain jika kita tidak pernah berusaha ke sana. Dan dia benar-benar mengajakku ke sana. Ke bahagia itu, suatu tempat yang dulu aku kira bahwa hanya ada satu tempat seperti itu di dunia, di masa laluku.
"Bahagia bukanlah tempatnya, bahagia adalah apa yang kita rasakan," katanya.
Kalau ada yang mengira bahwa dia pasti berhasil membuatku bahagia karena mungkin sering membuatku tertawa. Kalian salah. Dia jarang membuatku tertawa. Atau kalau ada yang mengira dia membelikan semua yang aku mau. Kalian juga salah. Dia bukan orang yang seperti itu.
Aku bahagia, karena dia mencintaiku. Sudah. Itu saja. Kenapa orang harus selalu membutuhkan alasan yang menurut mereka masuk akal? Kenapa tidak cukup jatuh cinta dan bahagia saja?
Dan yang membuatku semakin jatuh cinta adalah karena pada setiap hari, dalam cintaku yang membeludak kemana-mana kepadanya, aku bertanya dengan kemanjaan yang jarang sekali aku perlihatkan bahkan pada kakak-kakakku, "Apakah kita akan selalu seperti ini? Saling jatuh cinta setiap hari dan tidak pernah bertengkar?"
"Aku tidak bisa memjanjikan itu. Suatu hari nanti, akan ada masa dimana kita bertengkar. Itu sudah pasti. Tidak ada satu pun orang dan pasangan di dunia ini yang tidak memiliki masalah untuk dipertengkarkan. Tapi aku bisa menjanjikan ini, bahwa kita akan melaluinya, dan kemudian kembali jatuh cinta" jawabnya.
Jawaban itu sudah cukup. Kalau pun bertengkar, akan "kembali jatuh cinta." Itu cukup. Sudah sangat cukup. Dia tidak menjanjikan aku bahagia setiap saat, dia menjanjikanku untuk apa pun yang terjadi kami berdua akan kembali jatuh cinta.
Tapi jika semua itu belum cukup bagi orang untuk memuaskan jawaban kenapa aku bahagia dengannya, mungkin aku akan menjawab ini, "Karena menurutku dia adalah Polarisku. Mau apa pun, dalam keadaan bagaimana pun, dia selalu ada di sana. Seperti Polaris yang akan selalu berada di utara. Seperti ketika dia menemaniku saat aku dalam keadaan paling terluka. Dia Polarisku. Bintang paling terang kapan pun aku membutuhkan jalan keluar. Seperti ketika dia datang pada suatu saat ketika aku mengira tak akan bisa lagi berbahagia. Lalu dia dengan sikapnya seperti mengatakan, "Kemarilah, biarkan aku yang menjaga bahagiamu."
Look at him. The one that sleep like a Teddy. The one that made me smile with happily tears, everytime I remember everything he did.
0 komentar:
Posting Komentar