Yogyakarta, 24 Juni 2018
Teruntuk Kakak yang selalu ikhlas aku panggil Bawel
Sudah beberapa minggu dan masih dengan rasa yang sama. Aku tidak akan lagi bertanya bagaimana kabarmu Wel. Aku sudah tau pasti kamu baik-baik saja dan akan selalu baik-baik saja. Mungkin kamu bingung, mengapa aku masih memilih menulis untukmu daripada beberapa laki-laki yang (dan mungkin kamu juga) kenal. Alasannya sederhana, karena kamu masih (sedikit) istimewa untukku, bahkan sampai sekarang pun masih tetap sama.
Kamu mungkin berpikir ini adalah usahaku untuk menarikmu yang kini menjauh. Kenyataan, memang iya sih. Aku benci kita yang seperti ini. Mungkin menurutmu memang harusnya begini ya, Kamu menjauhiku hanya karena masaah yang aku sendiri bahkan tidak mengerti.
Wel, bisakah kamu jelaskan alasanmu menjaui dan bersikap seperti tidak mengenalku itu? Dulu kita selalu bersikap jujur, dulu kita saling terbuka dan dulu kita hampir tidak pernah menyembunyikan apapun. Bahkan kamu dulu bisa membuat list siapa saja laki-laki yang aku suka termasuk idola-idolaku, Haha
Hampir tidak pernah menyembunyikan apapun.
Iya, hampir. Kenyataan sebenarnya mungkin aku dan kamu, kita, saling menyembunyikan sesuatu yang sulit untuk terucap. Apa ada yang kamu sembunyikan Wel? Rasa tidak nyaman, mungkin? Bosan? Atau apapun?
Masih ingat tidak, perihal janjimu yang akan menemaniku setiap kali kamu pulang ke Jogja? Aku berkali-kali ingin memintamu menemaniku ke beberapa tempat. Tapi sayangnya sikapmu belakangan ini membuatku ragu, apa mungkin kamu masih mau menemaniku?
Lucu jika diingat. Karena awalnya aku yang ragu memintamu menemaniku ke beberapa tempat, termasuk ke tempat Bapak. Masalahnya adalah jika kamu menemaniku, berarti itu adalah kali pertama aku memperkenalkan seorang laki-laki secara resmi ke Bapak. Dan, yap, aku ragu padamu Bawel. Apa kamu pantas menjadi yang pertama menemaniku mengunjungi Bapak? Apa kamu cukup baik untuk menemui Bapak di pusaranya?
Namun waktu berlalu dan yang kulihat adalah kamu terus mengingatkanku untuk menemui Bapak, ditemani kamu. Dan ketika aku terus menerus menunda, suatu hari di Rabu malam (yang memang jadwalmu pergi ke Pura) kamu menanyakan nama Bapak dan meminta izin padaku, "Bolehkah jika aku menyebut nama Bapak dalam ibadahku malam ini?"
Hal ini terlalu menyentuhku Wel. Terlalu mengena di hatiku. Dan itu masih membekas. Karenanya aku jadi menganggapmu (sedikit) istimewa. Kamu, laki-laki pertama yang kukenal, yang masih memikirkan tentang Bapak ketika yang lain hanya "iya-iya" saja.
Sekarang kamu sudah pahamkan, alasan aku sulit melepaskanmu begitu saja? Hal kedua yang harus kamu tau adalah sejujurnya aku lelah dengan dinding yang memberi jarak hubungan kita Wel.
Menurutku kita ada di sebuah ruangan yang dibatasi dinding-dinding. Dinding kiriku berbatas dengan pintu dan dinding kananku berbatas dengan ruanganmu. Kemudian aku mencoba meruntuhkan dinding yang ada di kiriku agar aku bisa bertemu dengan mu dan keluar dari ruangan itu bersamamu. Sementara kamu sepertinya hanya berusahan meruntuhkan dinding agar kamu bisa keluar dan meninggalkanku yang masih berusaha sendiri.
Awalnya mungkin dinding ini menyenangkan, ya? Sampai akhirnya kita mulai menjaling hubungan serius dengan yang lain, dan aku tanpa sadar sering membandingkan semua yang aku kenal dengan sosokmu.
Sudah jelaskan Wel yang kurasakan padamu saat ini? Aku tidak mencintaimu, Wel. Tidak, bukan cinta yang kurasakan saat ini padamu. Hanya saja, rasa ini rumit. Rumit dan mungkin Terlambat.
Aku tau kok aku telah banyak mengecewakanmu, Wel. Aku tidak buta. Aku juga belum mati rasa. Namun aku butuh sedikit saja penjelasan atas sikapmu belakangan ini. Apa masih terlalu berlebihan?
Awel, entah kapan kamu akan menemukan tulisan ini di sini. Entah kapan juga aku akan berani memberikan ini padamu dan atau menceritakan tentang adanya tulisan ini padamu. Namun sampai saat itu tiba, aku masih berharap kamu mau mengingat tentang kita dan membantuku meruntuhkan dinding yang tercipta diantara kita ini.
Ya sudah dulu ya Wel. Tulisan ini pasti akan membuatmu bingung dengan segala kejujuran yang sedikit-sedikit aku selipkan disetiap kalimatnya. Aku masih berharap yang terbaik untukmu Wel. Masih dan akan selalu. Maaf aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu saat itu. Tidak bisa mengajakmu berkenalan secara resmi kepada Bapak. Sampai nanti Wel. Aku menunggu kabar baik darimu.
Me
0 komentar:
Posting Komentar