Gimana
rasanya kalo apa yang selama ini kamu kejar akhirnya kesampaian? Seneng dong
ya? Bahagia? Iya, harusnya sih gitu. Dan pada awalnya emang aku juga ngerasa
hal yang sama. Jadi mahasiswa di salah satu PTN yang selama ini aku kejar. Itu
sesuatu yang patut dibanggakan. Berapa banyak orang yang mau berjuang
sungguh-sungguh untuk duduk di posisiku saat ini? Enggak kebayang bagaimana
bakal bahagianya orang-orang yang mau ada di posisiku saat ini kalau aja aku
tawarin tukeran sama aku.
Waktu
pertama kali dapet pengumuman lolos, aku Cuma bilang “Iya, Alhamdulillah.”
Yaps, That’s all. Enggak lebih enggak
kurang. Ya, walau pun sebelum pengumuman aku pernah bilang kalau aku diterima
aku bakal lakuin sesuatu. Tapi setelah buka pengumuman dan diterima.
Ekspresiku, yagitu kayak yang yaudah gitu. Datar. Aku agak benci ngakuin kalo
keberhasilan itu bukan suatu prestasi yang perlu aku banggain. Aku masih
terpikir ISI Jogja dan Universitas Udayana Bali. Aku merasa masuk UNY bukan
suatu prestasi. Tapi memang hal yang sudah diharuskan.
Pernah
aku ditanya sama orang “Gimana rasanya masuk UNY? Bangga enggak?” dan aku
sangat amat ingat jawabanku “Ya gini. Biasa sih.” Dan kemudian orang itu bilang
“Gila. Aku aja mati-matian biar bisa masuk UNY. Eh kamu bilang biasa aja.” Dan
disitu aku Cuma senyum. Karena saat itu buatku masuk UNY cuma penuntasan suatu
misi yang diberikan oleh orang tua. Ya, memang ada rasa puas bisa tuntas dari
misi tersebut, tapi ya aku belum bangga atau yang terlalu gimana gitu. Bahkan
ketika tetangga-tetanggaku heboh dengan embel-embel PTN aku Cuma senyum-senyum
aja. No sense.
Kemudian
aku ikut TM OSPEK. Kenal sama orang-orang baru. Kenal lingkungan baru juga, dan
aku masih tetap belum merasa aku bangga ada di sini. Sampai akhirnya aku ikut
OSPEK, di situ aku mulai merasa nyaman degan lingkungan baru ku. Dan mulai
merasa memiliki kewajiban untuk bangga dengan lingkungan baruku. Tapi, ya tadi
sebatas kewajiban, keharusan, bukan suatu keinginan. Ya gimana mau enggak
ngerasa harus bangga sama almamater. Selama 5 hari aku pake terus tuh almet
dari pagi sampai sore. Ke GOR-Ke Jurusan-Ke Lapangan FIP. Kemana aja di kampus pake
tu almet. Akhirnya jadi timbul keharusan aja dalam diri buat bangga sama
almetku ini.
Tapi
setelahnya, aku mulai ngerasa aneh sama diri sendiri. Rasa yang kayak kurang
nyaman tapi berlebihan, mungkin karena menghadapi banyak sifat-sifat baru di
kelas. Sifat-sifat yang mulai kebuka di kelas. Tapi ada satu lagi yang lebih kerasa.
Bentrokan keras yang ad adalam diriku sendiri, sampai akhirnya ada pertanyaan:
“Gimana
akhirnya besok kalau udah dari awal gini enggak ada minat? Gimana kalau
seandainya aku masuk ISI atau UNUD pun cuma berusaha menuhin egoku aja tanpa
peduli sama passionku sebenernya?
Gimana kalau ternyata semua ini cuma kesalahan. Cuma ilusi aja tanpa ada jalan
yang tepat buatku?”
Memang
dari kecil urusan tentang pendidikan Una (Ibu_re) selalu memilih yang terbaik
bagiku (menurutnya) dan sekitarnya, sesuai kemampuanku. Tapi ya kadang sesuai
kemampuanku itu menurut Una. Bukan aku. Dari umur 1 tahun aku sudah mulai
diajarkan musik-musik dibiasakan mendengarkan nyanyian-nyanyian anak mulai dari
yang bahasa Indonesia sampai lagu My Bonnie, Are You Sleeping, dan Twinkle-Twinkle
Little Star. Umur 2,5 tahun aku sudah disekolahkan. Memang ini permintaanku
sendiri tapi Una memasukkanku ke sekolah yang teman-temannya sudah dapat
menulis dan membaca. Disana aku ‘sedikit’ merasa harus bisa. Dan Alhamdulillah
belum genap 3 tahun aku sudah mengenal huruf. Di usia 7 tahun Alhamdulillah
sudah hapal perkalian dasar. Ya gitu seterusnya, dituntut harus bisa sama
dengan teman-temannya (yang menurutku kadang menyebalkan). Una adalah seorang
Guru, maka Una biasa mentargetkan semua-semuanya. Dan itu berimbas ke aku. Yang
apa-apa serba di target. But, I think I’m
fine.
Dengan
latar belakang yang seperti itu, aku memang merasa kalau aku jadi punya banyak
hal yang menonjol dari diriku. Aku kuat dibidang matematika dasar (benar-benar
dasar) terbiasa menghitung tanpa kalkulator, bisa membuat beberapa makanan dan
kue, lumayan mandiri, kerja keras, dan udah terbiasa sama kerjaan rumah, dan
kadang ada masalah-masalah di luar usiaku. Semua itu karena didikan Bapak dan
Una. Dan saat sadar hal itu, aku merasa sangat-sangat beruntung punya orang tua
seperti mereka. Semua ‘senjata’ yang dibutuhkan untuk bertarung di kehidupan
besok-besok udah disiapin, dibiasain, dilatih oleh mereka, jadi aku enggak
terlalu kaget waktu ada hal-hal diluar dugaan tiba-tiba datang. Tapi yang
menjadi masalah sekarang adalah:
“Apa passionku sebenarnya?”
Kenapa
aku mulai berpikir kayak gitu? Karena mendadak aku merasa, aku begini, mencoba
mengajar dan lainnya, ngambil dan milih jurusan Guru. Itu semua karena didikan
Una. Una yang suka mengajar (mempengaruhi orang-orang disekitarnya) dan
membiasakanku berlatih seperti itu. Jadi lama-lama aku terbiasa atau menyukai
jika disekitarku ada orang yang bisa ya bisa aku ajak untuk rame. Oke, itu
lebay, tapi ya gitu kenyataannya.
How about being a chef? Is it my passion?
Selanjutnya
aku pernah berpikiran untuk sekolah pariwisata dan kemudian menjadi seorang
chef. Apa iya itu passionku? Aku sendiri
juga tak yakin. Aku juga merasa aku mau jadi chef hanya karena didikan keluarga juga. Dimana aku kalau mau makan
dan waktu itu tidak ada makanan, aku harus bisa menyediakan makanan sendiri
dengan kata lain harus bisa masak sendiri dan dikit-dikit bisa ngebuat kue-kue
sederhana. Bukan karena aku mau sendiri. Dan yang kedua, prospek seorang chef itu juga menggiurkan buatku. Jadi chef itu, sekolah sebentar untuk masa
depan dengan uang yang berlimpah. Ya, kata orang-orang sih gitu. Jadi, aku juga
tidak yakin bangen sama chef ini. Aku
bahkan enggak tau ini beneran passion atau
apa. Kata Una dari dulu bilang kalau beliau ingin punya usaha catering sendiri. Dan rasanya it utu jadi
doktrin dan akhirnya aku menaruh itu sebagai salah satu list longtermku, punya catering
sendiri.
How about being author
Ketika semuanya
jadi semakin mengganggu pikiranku. Akupun akhirnya mencoba buat mencari
kejujuran di hatiku yang sebenarnya. Dan kemudian aku tiba-tiba keinget kalo aku
ini suka banget nulis, suka banget ngebaca banyak hal, terus aku mencoba buat
nulis lagi juga. Aku merasa
aku ini tipe orang yang lebih mudah dalam mempelajari bahasa, hanya lewat musik
dan film kemampuan bahasa Inggris ku yang dulu hancur banget, dalam waktu
kurang lebih 6 bulan dapat merangkak naik ya lumayan banyak namun belum sesuai
juga dengan target ku. Aku ini orangnya penasaran banget dan aku suka sesuatu
yang menghibur orang tapi aku kurang suka dengan seni dan segala aturan
estetikanya itu tapi aku bahagia saat orang dapat menerima karyaku atau aku bisa melihat orang lain
bahagia atau ya lumayan hilang bete nya karena aku. Sastra. Aku suka nulis, aku
suka orang lain bahagia, aku suka hiburan, aku suka berimajinasi, suka
menghayal, dan semua ini aku dapat dari Sastra. Apa ini namanya passionku? Tapi apa iya aku harus
meninggalkan semua yang udah aku raih demi ini?
What
about psychology?
Aku
selain suka melihat orang lain bahagia, aku juga suka mendengarkan oranglain
saat mereka ada masalah, kadang aku memberi saran kadang aku hanya
mendengarkan, ya sebenernya cerita apapaun bukan Cuma masalah saat mereka
bahagia juga aku suka kok mendengarkan. Aku suka jadi tempat orang lain cerita,
aku suka jadi yang dipercaya, aku suka dianggap mampu dimintai saran. Di sisi
lain aku juga kebetulan kada ng bisa menebak sifat orang dengan sekali melihat
dia dan mendengar dia berbica dan kebetulan juga kadang benar tebakanku.
Uniknya lagi, aku bisa membentengi diri dari apa kata orang lain terhadap ku.
Dan beberapa temanku banyak yang menyarankanku masuk ke jurusan psikologi saat
sedang heboh-hebohnya pendaftaran kuliah. Apa jangan-jangan memang ini passionku?
May be a director?
Dan ini
yang terakhir, bisa juga dibilang ini sisi kelam dariku. Aku suka memerintah
orang. Aku suka merangkai sebuah jalan cerita. Dan aku suka melihat film,tv series, atau apapun sebagainya dan
kemudian mengkritiknya. Saat ada tugas membuat film saat masih di bangku
sekolah dulu aku sangat semangat. Mulai dari naskah, properti, sampai setting yang akan digunakan saat
pengambilan gambar itu semua aku menawarkan diri untuk mengaturnya. Ya memang
ujungnya repot sendiri tapi entah kenapa suka sekali saat itu. Namun sayangnya
saat aku bilang ke keluargaku untuk melanjutkan kuliah di bidang-bidang per’film’an
gitu mereka kurang setuju, alasannya ini hanyalah sekedar hobi ku dan itu bisa
nanti dilatih lagi lewat Unit Kegiatan Mahasiswa atau otodidak. Sebenernya sebel
sama alasannya, tapi mau gimana lagi. Kalo mau nekat tetep ambil takutnya bener
itu cuma hobi terus aku bosan.
So, aku sampai sekarang masih
bingung sama namanya passionku, tapi
aku yang sekarang ini ada di Keguruan mulai merasakan ke-enggak-nyaman-an aku
dengan apa yang aku jalani sekarang. Bukan karena teman-temanku, tapi karena
diriku sendiri. Teman-temanku mereka luar biasa membuatku senang. Iya si emang
ngerasa satu egoku terpenuhi saat bisa masuk ke PTN tapi ada satu bagian dalam
diri aku seolah-olah hampa. Seperti ini bukan aku yang bener-bener aku. Beberapa
teman bilang aku pantas ada di Keguruan ini karena memang aku bisa cukup dekat
dengan anak kecil. Beberapa yang lain bilang harusnya aku jadi chef atau enggak
aku kuliah di Tata Boga. Sebagian ada juga yang bilang harusnya kuliah di Psikologi
karena memang mereka sering melihatku membaca buku-buku psikologi. Dan yang
lain lagi bilang harusnya aku kuliah di Sastra. Yeah, I don’t know.
WHO AM I?
0 komentar:
Posting Komentar