Yogyakarta, 11 Juli 2019
Baiklah, kita tidak akan berbicara tentang bagaimana kamu mematahkan hatiku, atau bagaimana lelahnya aku untuk berusaha melepaskanmu setelah itu. Itu tekadku hari ini.
Aku tidak mau lagi membahasnya. Biar aku yang merasakannya, dan menyimpannya. Karena seberapapun aku menjelaskannya, kalau tidak mengalami sendiri tetap saja tidak akan mengerti.
Sekarang aku mengambil resiko cukup besar ini, yap dengan menemui kamu. Resiko yang sempat tidak berani kuambil, karena aku takut hatiku terambil kembali olehmu. Tapi mungkin kali ini aku sudah siap. Tidak akan pernah tau kapan siapnya bukan, kalau kita tidak mencobanya? Meski hatiku sudah melepasmu lama, tapi pikiranku baru saja bisa melakukannya. Kemudian, aku di sini. Menguji semua inderaku, pikiranku dan hatiku untuk kembali menemuimu.
Tentu saja bukan aku yang mengajakmu bertemu. Aku tidak akan meminta untuk bertemu, karena kamu yang sudah melepasku. Dulu, aku sudah pernah meminta untuk bertahan, hal yang sangat ku sesali kemudian. Jadi aku tidak akan kembali mengulang kesalahan yang sama dengan memulai meminta pertemuan terlebih dahulu denganmu.
Kamu masih sama ya, mungkin hanya gaya rambutmu yang agak berubah. Tapi selebihnya masih sama. Aku rindu.
Kamu tau? Kamu masih teristimewa untukku. Aku tidak bisa berbohong tentang itu. Aku hanya bisa berdoa semoga keistimewaanmu itu tidak membuatku buta hari ini, atau seridaknya aku akan berusaha sekeras mungkin agar aku tidak buta. Aku akan berusaha setiap melihatmu tertawa dan matau nyaris berbinar, aku akan mengingat betapa dulu kamu sering membuatku terluka. Setiap kamu membuatku tertawa, dan kemudian dadaku berdetak (seperti dulu saat kamu membuatku jatuh cinta), aku akan mengingat betapa sering kamu meminta maaf, tapi kemudian melakukan kesalahan yang sama.
Dulu dengan melihatmu dari kejauhan saja sudah seperti melihat rumahku. Karena segala kenyamanan yang kucari ada padamu, ada ketika aku bersamamu. Apalagi kalau sedekat ini. Hanya berbatasan dengan meja kafe. Sekarang mungkin masih ada perasaan itu, kenyamanan itu. Tapi dengan segala kemampuanku aku berusaha menepisnya. Ini hanya pertemuan biasa. Aku harus menghapus perasaanku, bukan silaturahminya. Membatasi pertemuanku, tapi bukan pertemanannya. Memang berat. Tapi aku yakin aku bisa melakukannya.
Semuanya baik-baik saja. Saling bercerita kehidupan sehari-hari, menanyakan kabar keluarga, saling melempar candaan. Aku menikmatinya. Dan aku juga berpikir bahwa aku sudah mulai bisa melepasmu. Karena melihatmu yang seistimewa itu, perasaanku sudah biasa saja. Aku sudah berhasil memadamkan segala percikan yang bisa saja membuatku jatuh cinta dengan mudahnya. Tidak seperti dulu. Dimana namamu disebut, aku akan tersenyum sepanjang hari.
Kemudian kamu membuat kesalahan terbesarmu di pertemuan kita ini. Kau menanyakan masih adakah perasaanku untukmu. Tentu saja aku hanya bisa menjawab dengan senyuman. Dan kamu menanyakan apa aku ingin kembali seperti saat itu? Ya, aku ingin marah begitu saja dengan tiba-tiba. Apakah ini maksudmu mengajakku bertemu?
Salah satu momen paling berat dalam hidupku adalah melepasmu. Sekarang apa kamu berharap bisa kembali, untuk kemudian kamu pergi lagi? Dan aku harus berjuang untuk merelakanmu? Seperti dulu, dengan segala kesulitan hidupku?
Aku pernah sedemikian terpuruk sampai berusaha mengusir lukanya dengan menyibukkan diri hingga kelelahan, jalan-jalan, menonton film-film, mencoba banyak makanan, dan ah paling kamu juga tau apa lagi yang aku lakukan. Sampai teman-temanku merasa kasihan dan bertanya mau sampai kapan 'usaha pengalihan' ini?
"Sampai aku bisa untuk tidak merindukannya lagi" hanya itu jawabku.
Apa kamu pernah mengalami seperti aku? Dari bangun tidur hingga tidur lagi kamu sering melintas tiba-tiba di pikiranku. Berharap dan menunggu, siapa tau kan kamu akan kembali. Tapi apa pedulimu? Kamu sudah bahagia di sana. Hingga dengan orang yang pernah bersamamu saja kamu lupa.
Ada banyak hal yang ingin aku ceritakan, banyak pertanyaan "kenapa" yang ingin aku pertanyakan. Tetapi aku terlalu takut mengatakannya. Karena aku takut kamu tidak akan mendengarkan.
Pernahkah kamu merasa ingin sekali bertahan, tapi hati kecilmu sendiri sudah tau bahwa apa yang dilakukan itu tidak ada gunanya. Karena kamu yakin bahwa orang itu tidak akan datang? Kamu menunggu meskipun kamu tau kalau itu sia-sia. Karena yang kamu cintai itu tidak mencintaimu.
Kamu belum pernah kan? Jadi jangan pernah bilang kalau kembali itu mudah. Semua sudah tidak sama lagi. Coba kamu pecahkan gelas, lalu kamu rekatkan lagi. Apa tetap bisa sama? Tidakkan. Bekasnya akan selalu terlihat, seperti hatiku yang selalu mengingat.
Dan jangan pernah berkata, "Lupakan saja yang dulu, kamu sudah berubah, dan menyesali perbuatanmu saat itu. Lebih baik bagaimana kalau kita pikirkan saja yang sekarang?" Bagaimana bisa lupa kalau sakitnya terus saja tinggal?
Jangan salah. Bukannya aku membencimu. Bahkan aku saja sudah memaafkanmu. Tapi aku tidak bermaksud untuk melupakan. Jadi rasa sakit itu tidak aku hilangkan semua, aku sisakan sedikit agar aku terus mengingat kalau aku pernah merasakannya. Suatu hari, kalau aku bersama seseorang dengan ciri yang sama, aku harap aku mengenalnya dan tidak melakukan kesalahan yang sama. Aku mengikhlaskan luka itu, tapi aku belajar untuk tidak mengulanginya lagi.
Lalu kalau aku kembali terus apa? Jangan-jangan setiap hari aku akan terus bertanya "Apa kamu masih mencintaiku besok pagi?" "Apa kamu akan tetap di sini esok hari?" "Apa ini hanya sementara hingga kamu mendapatkan bahagia yang baru?"
Kamu terlalu lama pergi, terlalu sering melukai. Kamu bukanlah orang yang pantas untuk dipertahankan, ataupun untuk diterima kembali.
Tapi tenang saja. Aku tidak akan mengatakannya. Aku tidak sejahat itu, lagi pula tidak ada gunanya juga. Aku hanya tersenyum dan berkata
"Aku dulu sudah pernah melepasmu, dan aku tidak ingin melakukannya lagi pada orang yang sama. Terimakasih. Sudah malam, ayo kita pulang."
0 komentar:
Posting Komentar