Welcome to my little world

Rabu, 02 Juli 2025

Love Glow Like A Lighted Candle

Luca Vale tau bahwa lembayung senja tidak akan pernah menunggunya di pesisir pantai tempatnya berlibur itu. Jadi, ia hanya punya satu hal untuk dilakukan selain memaki waktu yang berjinjit melewati hari-harinya yang pendek dan padat; membuat lagu. Ini bukan masalah imajinasi yang terlanjur menyesakkan jiwa, bukan juga karena mengisi waktu luang di antara hiruk pikuk kehidupan metropolitan yang tengah ia jalani.
 
Luca hanya sedang jatuh cinta.
 
Sesederhana menyalakan lilin di tengah ruang hati yang gelap. Luca memahami cinta itu dengan cara yang orang lain tidak pernah rasakan sebelumnya.
 
Yah, tentu ini bukan kali pertamanya Luca jatuh cinta. Baginya, itu sudah jutaan kali jatuh cinta, sudah berkali-kali bibirnya tersentuh bibir wanita, memeluk mereka dengan kehangatan nyata serta cinta yang menggebu-gebu. Namun cinta kali ini berbeda. Ada sisi magis yang tidak bisa Luca jelaskan dengan kata-kata bahkan ia nalar dengan pikiran-pikiran jeniusnya yang selalu dipuji semua orang di sekitarnya.
 
Luca lalu bertanya-tanya, apakah ini sungguh cinta? Cinta mana mungkin sesederhana ini. Dia selalu disuguhi film-film romantis serta kisah-kisah cinta yang menunjukkan betapa jatuh cinta adalah sesuatu yang membakar jiwa hingga mampu mendorong seseorang melakukan hal-hal yang mustahil. Cinta di mata Luca adalah gempa bumi, menjungkirbalikkan perasaan, membuat seseorang tidak bisa berpikir jernih, dan mengganggu ritme kehidupan. Hanya saja, itu bukan pertanda yang Luca rasakan, karena sekarang, Luca hanya merasa....
 
Hampa...
 
Tenang dan damai.
 
Ini mengherankan. Luca bahkan sudah lupa kapan terakhir kali ia merasakan hal seperti ini. Ia percaya, satu-satunya hal yang meninggalkan jejak seperti itu hanyalah pelukan Ibunya yang kini telah tiada; hal itu pun sudah sangat lama terjadi.
 
Ah, mungkin ini bukan cinta, bisik sisi lain diri Luca; skeptis akan perasaannya sendiri. Mungkin ini hanyalah rasa kekaguman semata atau apalah itu. Perasaan ini mungkin saja akan menghilang lebih cepat dari separuh periode bulan purnama, setelah itu ia akan kembali menjadi luca yang biasanya -dinamis mengikuti ritme kehidupan. Hanya saja, perasaan ini terlalu nyata jika hanya disebut kekaguman semata; terlalu menyeluruh hingga ke sumsum tulang jika hanya perasaan yang akan menghilang secepat ia datang. Lalu, jika ia bukan cinta, maka perasaan apa ini?
 
Ah, sudahlah. Luca pun berhenti bertanya-tanya, pun berhenti menduga-duga juga skeptis tentang perasaan ganjil ini Ia memutuskan untuk menerima kondisi hatinya sekarang dengan kedua tangan terbuka lebar -menikmatinya dengan sepenuh hati di hari-hari panjang juga melelahkannya. Itu lebih mudah dilakukan ketimbang menyusun serentetan alasan untuk menolak perasaan magis itu.
 
Toh, ia bahagia.
 
Memangnya apa lagi yang harus ia lakukan selain menikmatinya?
 
"Jadi, kamu bisa main piano?"
 
Luca tidak tersentak maupun kaget dengan suara pongah yang tiba-tiba menyela dentingan pianonya. Ia justru tersenyum, menarik salah satu sisi bibirnya ke atas, dan terkekeh di dalam hati karena berhasil memikat perhatian wanita itu.
 
"selingan saja. Daripada keyboard kantor nganggur." Sahut Luca sambil menarik jari ke atas keyboard kepunyaan kantor itu kembali. Lagu yang sama berkumandang dari awal, menyebar ke seluruh lantai, dan menyusup di antara kubik-kubik kosong yang ditinggal makan siang oleh pemiliknya.
 
"Apa kamu tidak takut dimarahi Papa?" Wajah wanita itu muncul di sudut mata Luca; rambut panjangnya jatuh di aras bahu membingkai wajah berbentuk hati itu dengan sempurna.
 
"Sudah jadi inventaris kantor nih. Big Boss jarang pakai juga kan?"
 
"iya juga...' wanita itu menganggukkan kepala, menarik kursi terdekat, dan ikut duduk di sebelah Luca. "Lagu instrumental siapa ini? Max Richter?"
 
"Laguku," jawab Luca datar. Ia masih tenggelam dengan nada-nada yang ia ciptakan sendiri, hingga mengabaikan mata kenari yang melebar di sampingnya.
 
"Ha? Beneran?" itu pertanyaan yang tidak perlu Luca jawab; ia memilih untuk diam dan melanjutkan.
 
"Keren banget," komentar wanita itu lagi masih dengan ekspresi yang sama. "Aku gak bisa main piano," imbuhnya lagi.
 
"Gak minta diajarin aja sama Big Boss?" Kini giliran Luca yang bertanya.
 
"Seumur gini? Gak ah. Lagian juga gak terlalu minat/"
 
"Emmh... Oke deh."
 
ukan bukan karena Luca tidak tau harus berkomentar apa hingga ia hanya bisa memberi gumaman tidak jelas seperti itu. Luca hanya ingin menikmati momen ini sejenak; kehangatan dan perasaan damai ketika wanita itu berada dalam jarak pandangnya serta cinta yang magis ini. Yap, hingga detik ini, ia tidak pernah meminta lebih dari itu, karena momen ini terasa tepat tanpa perlu semesta menjelaskan itu semua.
 
Untuk beberapa saat hanya lagu instrumental dari tarian tangan Luca yang mengisi suara di antara mereka. Wanita itu pun sepertinya memilih diam. Hingga akhirnya deretan denting terakhir berkumandang dan lagu selesai. Tepuk tangan menyambut Luca dan pria itu pun tersenyum lebih lebar.
 
"Ih, sumpah ya keren banget," kata wanita itu lagi, sungguh-sungguh.
 
"Terima kasih," balas Luca, ia menoleh dan kini menatap wanita itu lebih jelas.
 
"Judulnya apa?" Luca suka rasa ingin tahu wanita itu yang tinggi. Mengingatkan Luca akan dirinya saat masih kecil, yang begitu penasaran ada dunia lain selain gedung pencakar langit dan semua mainan-mainan canggih yang dimilikinya dulu.
 
"Love Glows Like A Lighted Candle" jawab Luca hikmat, judul lagu itu muncul begitu saja di kepalanya bersamaan dengan selesainya lagu yang ia ciptakan. Mungkin karena tidak ada yang mendeskripsikan perasaanyya sekarang lebih dari itu.
 
Wanita itu mengerjap, "Kok sama seperti dengan bayanganku?" Luca mengangkat satu alisnya, meminta wanita itu menjelaskan lebih lanjut pernyataannya. "Iya, tadi pas dengerin lagu itu aku ngebayangin bawa lilin nyala, terus rasanya tenang, damai, dan...."
 
"Hangat"
 
Luca terkekeh, "itu juga hyang aku rasain."
 
"Eh..." Mata wanita itu menyipit, senyum tidak lepas dari wajahnya. "Kamu... sedang jatuh cinta ya?"
 
"Iya.." jawab Luca enteng tanpa terpikir dua kali, "Aku sedang jatuh cinta" tegasnya lagi.
 
Wanita itu terkesima, matanya berbinar. Luca memandangnya dengan penuh perhatian, bagaimana ekspresi wajah itu berubah-ubah tanpa ada satu raut pun yang dipaksakan. Kejujuran dan kepolosannya. Luca menyukai itu dengan caranya sendiri.
 
"Wah.. Sama siapa?"
 
"Kamu."
 
Luca masih tersenyum, sementara ekspresi wanita itu kembali berubah menjadi lebih kaku dan penuh rasa keterkejutan. Entah di mana isi kepala Luca  saat ini, jawaban itu terlontar dengan sendirinya seperti nada-nada yang muncul di kepalanya tiap kali memikirkan wanita itu. Ia tidak berniat menutupi perasaannya, jika kesempatan itu datang, pria itu tidak akan ragu-ragu untuk mengambilnya.
 
Beberapa detik berlalu, mereka saling menatap dalam hening yang hanya dapat dipahami oleh diri mereka masing-masing. Seperti rentetan film lama yang di putar berulang kali, momen pertemuan pertama mereka berkelebat tanpa henti.
 
Lift kantor yang macet, trjebak dalam perjalanan ke lantai tujuh belas, detik-detik menegangkan, sinyal yang hilang. Luca berusaha tenang agar wanita yang terjebak bersamanya tidak panik. tapi hal itu sepertinya tidak perlu karena wanita itu lebih tegar dari yang Luca sangka. Nadanya yang tenang saat mengungkapkan ide agar mereka bisa terbebas dari ruangan sempit itu membuktikannya. Luca kagum, ia heran sekaligus terkesima, ia belum pernah bertemu dengan wanita itu di kantor. Mungkinkah pegawai baru?
 
Akhirnya, karena tidak menentukan ide lain selain menunggu seseorang menyelamatkan mereka mengobrol pun menjadi satu-satunya kegiatan yang dapat mereka lakukan. Untuk sesaat Luca berharap lift tersangkut lebih lama dari seharusnya karena berbicara dengan wanita itu ternyata begitu menyenangkan. Namun dia jam kemudian tim mekanis berhasil mengeluarkan mereka dan memutus kisah-kisah luar biasa yang tertukar di ruangan sempit itu. Kemudian, satu-satunya hal yang Luca ingat saat semua itu berakhir adalah perasaan hangat yang tertinggal di dadanya, serta langkah jenjang wanita itu setengah berlari memeluk seseorang yang Luca kenal dengan baik yang sudah menanti wanita itu dengan cemas di luar lift, lalu menangis ketakutan dalam dekapan...
 
Tunangannya.
 
"Claire?"
 
Sepersekian detik kemudian mereka kembali ke dunia nyata. Rentetan kejadian masa lalu itu buyar seperti kabut di pagi hari. Claire menoleh ke belakang, mendapati dua orang pria yang paling ia cintai di dunia ini melangkah menujunya.
 
"kamu ngapain ke kantor?"
 
Wanita bernama Claire itu berdiri; Luca pun berdiri. Luca mundur sejenak, mengambil jarak aman agar tidak ada prasangka yang tercipta.
 
"Eh, mau ketemu Papa saja." jawab Claire spontan.
 
"Lah, aku?" Pria di samping Papa Claire menyela, menggoda Claire dengan ekspresinya.
 
"Hehe, Kak Nathan juga dong," imbuh wanita itu sembari merangkul lengan tunangannya. Nathan Vale.
 
Bahkan tanpa diminta pun Luca Vale tau kalau kehadirannya tidak dibutuhkan. Perlahan Luca menyingkir, tersenyum, dan mengangguk singkat kepada kedua orang tersebut dan kembali ke ruangannya sendiri. Ia bisa merasakan ekor mata wanita itu mengikuti gerakannya, sorot mata menyesal dan permohonan maaf. Namun Luca tidak membutuhkan itu. Luca tidak pernah menyesali setiap detik yang ia habiskan dalam menikmati perasaan hangat dan magis itu.
 
Meski akhirnya nyala lilin itu harus padam dan hatinya kembali gelap untuk waktu yang lama. Luca percaya suatu hari nanti, akan ada cahaya lilin yang datang. Menyinari hatinya dan membuat hidupnya utuh dan penuh.
 
Ya, suatu hari nanti.
 
♡ 
Read More

Welcome to my little world

Diberdayakan oleh Blogger.

Temukan Aku di...

Followers

© Bienvenue, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena